Bareksa.com - Menutup akhir pekan, pasar saham Indonesia terpantau mengalami koreksi pada perdagangan hari ini, Jumat, 14 Desember 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,13 persen dengan berakhir di level 6.169,84.
Aktivitas perdagangan terlihat ramai di mana tercatat 10 miliar saham ditransaksikan dengan total nilai transaksi mencapai Rp9,63 triliun.
Secara sektoral, mayoritas berakhir di zona merah pada perdagangan hari ini, dengan tiga sektor yang mengalami pelemahan terdalam yakni sektor pertambangan (-0,65 persen), industri dasar (-0,61 persen), dan infrastruktur (-0,54 persen).
Sebanyak 156 saham menguat, 221 saham melemah, dan 151 saham tidak mengalami perubahan harga. Investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) pada perdagangan hari ini senilai Rp102,84 miliar,
Saham-saham yang Terbanyak Dilepas Asing :
1. Saham BBCA (Rp250,25 miliar)
2. Saham BBTN (Rp54,84 miliar)
3. Saham ADRO (Rp37,18 miliar)
4. Saham TLKM (Rp27,86 miliar)
5. Saham MNCN (Rp22,95 miliar)
Pergerakan bursa saham Tanah Air senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang kompak ditutup di zona merah pada perdagangan hari ini. Indeks Nikkei, Jepang anjlok 2,02 persen, indeks Shanghai, China amblas 1,53 persen, indeks Hang Seng, Hong Kong ambrol 1,54 persen, indeks Strait Times, Singapura melemah 0,97 persen, dan indeks Kospi, Korea Selatan terpangkas 1,25 persen.
Sentimen negatif yang berasal dari eksternal cukup mendominasi pada perdagangan hari ini sehingga membuat investor di pasar saham tanah air cenderung melakukan aksi jual.
Beberapa sentimen utama yang mempengaruhi pasar saham hari ini di antaranya :
1. European Central Bank (ECB)
Pasca dihadapkan pada normalisasi kebijakan oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed), kini giliran bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang juga melakukan pengetatan.
Kamis (13/12/2018), ECB secara resmi mengakhiri program stimulus berupa pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) yang selama ini dilakukan guna mendongkrak laju perekonomian Benua Biru.
Namun celakanya, pengetatan justru dilakukan saat secara bersamaan ECB merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Eropa untuk 2018 dan 2019.
Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9 persen, atau dipangkas dari perkiraan sebelumnya 2 persen. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8 persen menjadi 1,7 persen.
"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Gubernur ECB Mario Draghi, mengutip Reuters.
Dikhawatirkan, pengetatan yang dilakukan ECB akan menjadi suatu keselahan dan memukul perekonomian Eropa lebih dalam dari yang diperkirakan. Apalagi, ketidakpastian mengenai proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) juga masih lekat menempel perekonomian Eropa.
2. The Fed
Terkait dengan normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh The Fed, perkembangannya juga sedang kurang baik. Pelaku pasar justru semaki yakin bahwa The Fed akan mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya yang dijadwalkan tanggal 18-19 Desember mendatang.
Mengutip situs resmi CME Group, berdasarkan harga kontrak Fed Fund Futures per 13 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin (0,25 persen) pada Desember ini adalah 79,2 persen, naik dari posisi sehari sebelumnya 77,5 persen.
Semakin kuatnya pandagan pelaku pasar terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini datang seiring dengan positifnya data tenaga kerja di AS.
Kemarin, diumumkan klaim tunjangan pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000, atau lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.
Klaim Tunjangan Pengangguran AS (dalam Ribuan)
Sumber: tradingeconomics.com
Masalahnya, di tengah kondisi perang AS dengan China yang belum menemukan titik terang serta indikasi resesi yang ditunjukkan oleh pergerakan di pasar obligasi, kenaikan suku bunga acuan yang terlalu agresif mungkin bukan merupakan pilihan yang bijak.
3. Ekonomi China
Sejauh ini, perang dagang antara AS dengan China terlihat benar-benar menyakiti perekonomian Negeri Panda.
Kemarin siang, China merilis angka investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang untuk pertama kalinya sepanjang tahun ini mengalami penurunan.
FDI China hingga November tercatat 793,27 miliar yuan, turun dibandingkan hingga Oktober 1.076,6 miliar yuan.
FDI China mengalami kontraksi 1,3 persen year on year (YoY) hingga bulan November. Capaian tersebut jauh lebih buruk dari capaian hingga bulan Oktober yang masih tercatat ekspansi 3,3 persenYoY.
FDI China (dalam Miliar Yuan)
Sumber: tradingeconomics.com
Kemudian pada hari ini, data ekonomi yang dirilis masih secara jelas menunjukkan tekanan pada perekonomian. Pertumbuhan produksi industri China periode November diumumkan 5,4 persen YoY, lebih rendah dari konsensus 5,9 persen YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.
Pertumbuhan Produksi Industri China YoY (dalam Persen)
Sumber: tradingeconomics.com
Kemudian, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode yang sama diumumkan tumbuh hanya 8,1 persen YoY, lebih rendah dari konsensus 8,8 persen YoY.
Secara siklusnya, perekonomian China memang sedang menghadapi risiko perlambatan. Namun, perang dagang dengan AS berpotensi membuat China mengalami hard landing.
Sebagai informasi, pada 2017 perekonomian China mencatatkan pertumbuhan 6,9 persen. Pada tahun ini, pemerintah China memproyeksikan pertumbuhan akan melambat ke level 6,5 persen.
(KA01/AM)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.