Bareksa.com - Setelah dua hari beruntun melemah di awal pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau kembali mengalami tekanan dengan berakhir melemah. Pelemahan nilai tukar rupiah kembali menjadi momok menakutkan bagi IHSG pada perdagangan kemarin.
Pelaku pasar tampaknya khawatir dengan prospek neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia. Dengan harga minyak yang bertahan di level tingginya saat ini, bahkan tertinggi sejak 2014 silam, impor Indonesia akan melonjak sehingga memberatkan neraca perdagangan hingga kemudian transaksi berjalan.
Hal itu kemudian dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri Mulyani, dengan pertumbuhan ekonomi domestik yang membaik pada tahun ini, impor memang lumayan deras. Akibatnya transaksi berjalan akan mengalami defisit yang cukup dalam.
Selain itu, dikombinasikan dengan arus modal yang terus memusat ke Amerika Serikat (AS) karena kenaikan suku bunga acuan The Fed, maka aliran devisa ke Indonesia terbatas. Akibatnya akan membuat rupiah sulit menguat.
Dengan prospek rupiah yang belum ada sinyal penguatan, pelaku pasar cenderung ragu mengoleksi mata uang Garuda.
Sulit mengharapkan investor mau memiliki aset yang harganya akan turun. Akibatnya, rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini masih terjebak di zona merah.
Pada perdagangan Rabu, 3 Oktober 2018, IHSG ditutup turun tipis 0,13 persen dan berakhir di level 5.867,74. Aktivitas perdagangan relatif sepi di mana tercatat 8,96 miliar saham ditransaksikan dengan nilai transaksi mencapai Rp5,38 triliun.
Sebanyak 202 saham mengalami kenaikan, 179 saham mengalami penurunan, serta 129 saham tidak mengalami perubahan harga.
Selain itu, investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) pada perdagangan kemarin senilai Rp242,31 miliar.
Secara sektoral, penguatan dan pelemahan terbagi rata ke masinng-masing lima sektor indeks pada perdagangan kemarin.
Tiga sektor yang mencatatkan penurunan terdalam yaitu konsumer (-0,85 persen), manufkatur (-0,47 persen), dan properti (-0,39 persen).
Saham - saham yang membebani IHSG pada perdagangan kemarin antara lain :
• PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) : -2 persen
• PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) : -0,8 persen
• PT Gudang Garam Tbk (GGRM) : -1,7 persen
• PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA) : -6,7 persen
• PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)Tbk (TLKM) :-0,6 persen
Analisis Teknikal IHSG
Sumber : Bareksa
Menurut analisis Bareksa, secara teknikal candle IHSG pada perdagangan kemarin membentuk bearish spinning top dengan upper shadow yang lebih panjang dibandingkan dengan lower shadow menggambarkan IHSG berbalik arah setelah sebelumnya sempat bergerak menguat.
Secara intraday, pergerakan IHSG terlihat sempat menguat di 30 menit awal perdagangan sebelum akhirnya berangsur mundur dan ditutup melemah pada jeda sesi pertama perdagangan.
Memasuki sesi kedua, pergerakan IHSG tidak banyak berubah dengan cenderung masih bergerak melemah dalam rentang yang sempit.
Indikator relative strength index (RSI) IHSG terpantau bergerak flat mengindikasikan IHSG tengah terkonsolidasi dalam jangka pendek. Dilihat dari sudut pandang teknikal, pergerakan IHSG pada hari ini berpotensi mengalami rebound.
Hal tersebut dikarenakan melihat historis pergerakan IHSG dalam empat pekan terakhir di mana biasanya pada hari kamis dan jumat IHSG mengalami penguatan setelah di awal pekan cenderung melemah.
Di sisi lain, kondisi Bursa Saham Amerika Serikat (AS) yang ditutup kompak menguat pada perdagangan kemarin diharapkan bisa menjadi sentimen positif yang mendorong IHSG untuk melaju pada hari ini.
Indeks Dow Jones ditutup menguat 0,2 persen, kemudian S&P500 dan Nasdaq masing-masing naik 0,32 persen.
Selain itu, harga minyak yang kembali menguat setelah kemarin sempat terkoreksi diperkirakan dapat menjadi sentimen positif lain yang bisa menopang IHSG menghijau, terutama bagi saham-saham berbasis pertambangan.
Pagi ini, harga minyak AS berjangka menguat 1,28 persen ke level US$76,19 per barel.
(AM)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.