Bareksa.com - Mengawali perdagangan hari pertama di bulan Oktober 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau mengalami tekanan hingga akhirnya ditutup melemah. Sejumlah sentimen mewarnai jalannya perdagangan kemarin.
Dari luar negeri, Amerika Serikat (AS) dan Kanada pada akhirnya berhasil menyepakati kerangka baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). yang diberi nama The United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Rencananya, para pimpinan negara akan menandatangani perjanjian tersebut sebelum akhir November dan setelahnya akan diserahkan ke Kongres.
Salah satu hal yang berhasil disetujui adalah Kanada akan membuka pasar yang lebih luas bagi produk susu (dairy) asal AS. Kanada harus membuka sekitar 3,5 persen dari pasar dairy domestik yang bernilai total US$16 miliar kepada produsen asal Negeri Paman Sam.
Sementara dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada September terjadi deflasi 0,18 persen secara bulanan (month on month/MoM). Sedangkan secara tahunan (year on year/YoY), inflasi tercatat 2,88 persen dan inflasi inti berada di level 2,82 persen YoY.
Adapun pada bulan sebelumnya, BPS mencatat terjadi deflasi 0,05 persen MoM. Kemudian inflasi tahunan berada di level 3,2 persen YoY dan inflasi inti 2,9 persen YoY.
Data inflasi September sedikit membawa pesimisme di pasar. Inflasi YoY yang lebih rendah dibandingkan Agustus menandakan permintaan yang cenderung lesu. Ini juga tercermin dari inflasi inti yang ikut melambat.
Melambatnya inflasi inti bisa didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Meski ada momen perbaikan sejak awal tahun, tampaknya daya beli masyarakat mulai mengalami stagnasi.
Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung melambat pada bulan lalu.
Pada perdagangan Senin, 1 Oktober 2018, IHSG ditutup melemah 0,53 persen dan berakhir di level 5.944,6. Aktivitas perdagangan tergolong tidak begitu ramai di mana tercatat 9,13 miliar saham ditransaksikan dengan nilai transaksi Rp6,09 triliun.
Sebanyak 195 saham mengalami kenaikan, sementara 212 saham mengalami penurunan, serta 104 saham tidak mengalami perubahan harga. Selain itu, investor asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) pada perdagangan kemarin senilai Rp377,85 miliar.
Secara sektoral, enam dari 10 sektor berakhir di zona negatif pada perdagangan kemarin. Tiga sektor yang mencatatkan penurunan terdalam yaitu industri dasar (-2,37 persen), pertanian (-1,49 persen), dan konsumer (-1,46 persen).
Saham - saham yang membebani IHSG pada perdagangan kemarin :
• PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) : -2,1 persen
• PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) : -1,5 persen
• PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) : -0,8 persen
• PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) : -9,7 persen
• PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) :-4,7 persen
Analisis Teknikal IHSG
Sumber : Bareksa
Menurut analisis Bareksa, secara teknikal candle IHSG pada perdagangan kemarin membentuk shooting star yang menggambarkan IHSG mengalami tekanan hingga harus berakhir pada level terendahnya.
Adapun secara intraday, pergerakan IHSG terlihat terkonsilidasi di 1,5 jam awal perdagangan sebelum akhirnya bergerak mundur dan masuk ke zona merah pada sesi pertama hinga berlanjut di sesi kedua.
Indikator relative strength index (RSI) terpantau sedikit bergerak turun mengindikasikan momentum kenaikan IHSG yang tertahan sejenak. Dilihat dari sudut pandang teknikal, pergerakan IHSG pada hari ini berpotensi untuk mengalami rebound.
Selain itu, Kondisi Bursa Saham Amerika Serikat (AS) yang ditutup mayoritas menghijau pada perdagangan kemarin diharapkan bisa menjadi sentimen positif yang mendorong IHSG rebound pada hari ini.
Indeks Dow Jones ditutup menguat 0,73 persen, kemudian S&P500 naik 0,36 persen, namun Nasdaq terkoreksi 0,11 persen.
Di sisi lain, kenaikan harga minyak yang masih terus melonjak diperkirakan dapat menjadi sentimen positif lain yang bisa menopang IHSG menghijau, terutama bagi saham berbasis pertambangan.
Pagi ini, harga minyak AS berjangka melesat 2,8 persen ke level US$75,30 per barel. Angka tersebut merupakan rekor tertinggi sejak November 2014.
(AM)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.