Schroders : Yield Sudah Menarik, Investor Lokal Jangan Terlambat Masuk Obligasi

Bareksa • 10 Sep 2018

an image
Adrian Maulana, Senior Vice President Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia.

Yield obligasi pemerintah dalam 10 tahun ada pada level 8,6 persen

Bareksa.com – Senior Vice President Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia atau Schroders Indonesia, Adrian Maulana, menyampaikan pandangannya mengenai sell off yang dialami pasar saham dan obligasi belakangan ini.

Adrian menyebut, hal itu karena adanya kepanikan akan efek dari krisis Turki, Argentina, Brazil yang merembet ke negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

“Di mana negara-negara tersebut (termasuk Indonesia) mengalami twin deficit, yaitu current account deficit (CAD) dan fiscal deficit,” tulis Adrian dalam keterangannya, Senin, 10 September 2018.

Hanya saja, lanjut Adrian, negara-negara lain tersebut mengalami inflasi tinggi (inflasi Turki 18 persen, Argentina 31 persen). Sedangkan inflasi Indonesia rendah atau berada pada level 3,2 persen.

Dengan begitu, Adrian menyampaikan, selama ekonomi Amerika Serikat sedang membaik, suku bunga akan terus meningkat, mata uang dolar AS terus menguat, harga minyak masih tinggi, negara-negara dengan CAD akan rentan.

Untuk itu, Adrian memaparkan beberapa katalis yang membantu. Salah satunya suku bunga The Fed naik secara gradual (tidak agresif), risiko perang dagang tidak memburuk, dan harga minyak cenderung menurun.

“Per hari ini valuasi obligasi dan saham sudah lebih menarik. Tinggal butuh kebijakan pemerintah yang lebih struktural dan konkret untuk meredam volatilitas,” imbuh Adrian.

Sebagai informasi, yield obligasi pemerintah dalam 10 tahun ada di level 8,6 persen. Sementara, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 7 September 2018 minus 7,93 persen secara year to date.

Sekadar pengingat, Adrian mengungkapkan, Indonesia sudah dua kali berhasil lewati major crisis (2013 dan 2015). “Yield obligasi saat itu nyaris di 9 persen  kemudian membaik,” tambahnya. 

Sementara itu, lanjut Adrian, walau saat ini sudah menarik, tapi memang investor asing belum agresif masuk ke pasar obligasi Indonesia karena volatilitas dolar terhadap rupiah yang terefleksikan dalam non delivarable forward (NDF) dan premi efek SWAP masih mahal buat asing melakukan hedging dalam rupiah.

“Tapi kalau sentimen negatif sudah turun, volatilitas dolar atas rupiah mereda, maka spread antara hedging cost dan nominal yield jadi positif, maka asing akan melirik kembali pasar SUN Indonesia. Apalagi spread US Treasury dan SUN lebih  5 persen,” jelasnya.

Adrian menyarankan agar investor lokal jangan terlambat masuk ke pasar obligasi (langsung maupun reksadana) karena yield yang sudah menarik dan investor lokal tidak punya liability dalam dolar AS.

(AM)