Bareksa.com – Hasil riset DBS menyebutkan saat ini pasar keuangan Indonesia terus merasakan ketegangan dari emerging market sell off.
Indeks Harga Saham Gabungan pada hari ini pukul 14.30 WIB anjlok 4,7 persen di level 5.627. Penurunan berlanjut setelah kemarin IHSG juga ditutup melemah 1,04 persen jadi 5.905.
Di pasar spot, berdasarkan data Reuters kemarin rupiah ditutup di level Rp14.930 per dolar AS dan data Bloomberg Rp14.935 per dolar AS. Berdasarkan data Investing.com, di pasar spot kemarin bahkan rupiah sempat menyentuh Rp15.029 per dolar AS.
Pada pagi ini di pasar spot, rupiah sempat menyentuh level Rp15.023 per dolar AS pada pukul 07.45, berdasarkan data Investing.com. Kemudian rupiah menguat jadi Rp14.957 pada pukul 09.00.
Menurut DBS, meskipun kondisi domestik saat ini menguntungkan di mana pertumbuhan ekonomi semester I 2018 sebesar 5,2 persen secara tahunan (YoY), namun Agustus lalu inflasi CPI melemah dari yang diprediksikan, di kisaran 3,2 persen YoY stabil dari bulan Juli.
Hal ini senada dengan target Bank Indonesia di kisaran 2,5-4,5 persen. Defisit transaksi berjalan fiskal masih sesuai dengan yang dianggarkan yaitu -2,1 persen dari PDB, di mana rasio utang pemerintah terhadap PDB di 28,7 persen (pada akhir 2017).
Hasil riset DBS Group Research Indonesia yang dipublikasikan hari ini, Rabu, 5 September 2018, terdapat dua poin sulit yang masih bertahan.
Pertama, meskipun defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen tahun ini, namun diprediksi akan melebar dibandingkan 2017. Hal itu menyiratkan kebutuhan pembiayaan yang lebih tinggi.
Kedua, kepemilikan asing yang cukup besar terhadap obligasi domestik, ditambah dengan utang korporasi dolar yang besar di tengah kuatnya nilai tukar dolar AS, mengakibatkan mata uang rupiah rentan terhadap pelemahan.
Riset DBS Group Research Indonesia menyampaikan otoritas berwenang telah secara aktif mendukung pasar valuta asing domestik dan pasar obligasi selama serangan volatilitas baru-baru ini.
“Di tengah penurunan nilai tukar mata uang regional yang lebih dalam, langkah-langkah intervensi membantu memperlancar downdraft tetapi akan menjadi tantangan untuk memutar balik arah saat ini,” tulis riset itu.
Dengan reformasi subsidi atau liberalisasi untuk harga bahan bakar yang tidak mungkin terjadi sebelum pemilihan umum tahun depan. Maka itu, DBS memperkirakan pemerintah akan lebih mengutamakan kebijakan bertahan dan tindakan administratif yang bertujuan untuk menjaga mata uang dan defisit transaksi berjalan.
DBS menyatakan upaya perlu ditingkatkan untuk menstabilkan kurs rupiah. Yield obligasi pemerintah sudah melampaui 8 persen, secara bersamaan nilai tukar dolar AS juga sudah menembus Rp14.800.
“Sebagian besar sell off disebabkan oleh kekhawatiran tentang Turki dan Argentina yang meluas ke emerging market lainnya dan sangat sedikit hubungannya dengan kondisi domestik,” jelas riset DBS.
(AM)