Bareksa.com - Pemerintah Indonesia, melalui holding badan usaha di bidang tambang, telah menekan perjanjian yang menunjukkan kemajuan terhadap proses divestasi pihak asing di PT Freeport Indonesia. Namun, sejumlah pokok-pokok perjanjian yang telah disepakati untuk transaksi bernilai sekitar Rp53 triliun tersebut justru dianggap janggal.
Pertanyaan muncul seputar pihak yang ikut terlibat dalam penandatanganan heads of agreement (HOA) dengan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), ternyata tidak hanya Freeport-McMoRan Inc (FCX), tetapi juga Rio Tinto. Mantan Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio pun angkat bicara.
Tito, melalui WhatsApp kepada wartawan, mempertanyakan bagaimana Rio Tinto bisa memiliki saham Freeport Indonesia. “Apakah sepengetahuan pemerintah, apakah artinya Freeport tidak investasi untuk infrastructure, tapi dilakukan Rio Tinto? Bukankah ini artinya pelanggaran dari janji Freeport. Bukannya ditanyakan kok malah di-bail out?”
Kemudian, dia juga mempertanyakan mengapa strukturnya pemerintah membeli participating interest Rio Tinto. “Apakah artinya ini dana investasi pemerintah tidak masuk ke perseroan? Enak amat Rio Tinto dan FMC.”
Selanjutnya, dalam HOA tersebut Inalum akan mengeluarkan dana US$3,85 miliar atau sekitar Rp53 triliun untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di Freeport Indonesia dan 100 persen saham PT Indocopper Investama milik FCX. Indocopper merupakan pemilik 9,36 persen saham Freeport Indonesia.
Menurut Tito, bila hal ini tuntas, artinya FCX melakukan divestasi dan secara teori sudah balik modal. Akan tetapi, seharusnya Freeport Indonesia menerbitkan saham baru agar dananya masuk ke perusahaan. “Bukankah harusnya saham baru agar dananya masuk ke perseroan, bukan divestasi?”
Pertanyaan lain muncul terkait dengan janji investasi Freeport Indonesia kepada pemerintah. “Kalau Freeport Indonesia janji investasi, tapi pemerintah sudah di dalam 51 persen, artinya pemerintah berjanji ke dirinya sendiri?”
Kemudian, dengan ada perpanjangan kontrak hingga 2041, Tito percaya harga saham FCX di bursa New York akan naik. Dengan peningkatan harga saham, maka kapitalisasi pasar naik dan FCX pun meraup untung. “Apakah ini diperhitungkan dalam mengecilkan harga?”
Selanjutnya, Tito juga mengungkit perjanjian di masa lalu. Dulu pihak Indonesia yang diberi jatah membeli Freeport melalui PT Indocooper diberi bantuan berutang modal awal dengan guarantee FCX, lalu mencicil sisanya dari dividen sebelum mereka jual balik ke FCX dengan nilai US$400 juta. “Pertama, sekarang kenapa cash. Kedua, harga harusnya jangan lebih dari US$400 juta untuk 9,36 persen ini.
Tito pun memberi simulasi bila 9,36 persen seharga US$400 juta, maka 40 persen maksimal US$1,7 miliar. Namun, harga yang baru diteken saat ini menjadi US$3,85 miliar, atau lebih dari dua kali lipat perhitungan itu.
Terakhir, Tito mempertanyakan mengapa Indonesia melalui Inalum justru membeli saham yang dipegang oleh Rio Tinto, yang artinya dana tidak masuk ke Freeport Inonesia. “Kenapa mahal amat, mendingan bangun infrastructure, dan kenapa cash keras?”
Dia pun memperbandingkan dengan kondisi dulu yang bisa mencicil tetapi sekarang harus berutang. “Padahal ada cara lain dan yang pasti kalau baru HOA ya jangan perpanjang dulu!”