Milik Investor Besar, Saham-Saham Ini Justru Anggota Klub Gocap. Mau Koleksi?

Bareksa • 04 Aug 2017

an image
Seorang investor takut untuk memilih saham. (123RF, Konstantin Sutyagin/Bareksa)

Sebagian besar pergerakan saham tersebut karena kinerja keuangannya yang masih rugi

Bareksa.com – Berbicara jumlah saham dalam deretan klub gocap, daftarnya terus berubah di setiap periode. Misalnya saja daftar per 31 Juli 2017 yang tinggal berjumlah 31 saham dari periode akhir 2016 yang sebanyak 33 saham.

Isi dari daftar itu pun berubah. Mengacu daftar per akhir 2016, setidaknya ada delapan saham baru yang menjadi anggota klub gocap. Bahkan di antaranya merupakan saham emiten yang secara bisnis punya nama besar.

Misalnya saja saham PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP). Saham milik Grup MNC ini mulai menyentuh level terbawah pada 25 Juli 2017. Artinya, saham BABP sudah turun 26,47 persen dari posisi akhir tahun 2016 di level Rp 68.

Selain BABP, saham PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS) juga masuk sebagai anggota baru klub gocap. Berada pada level Rp 57 pada akhir 2016, saham BEKS pernah mencapai level penutupan tertinggi Rp 63 sebelum akhirnya pada 30 Mei 2017 hingga saat ini betah duduk pada Rp 50. Secara tahunan, maka saham BEKS telah turun 12,28 persen.

Ada juga nama saham PT Smartfren Telecom Tbk (FREN). Di bawah naungan Grup Sinarmas tak membuat saham FREN tumbuh baik. Saham FREN pada akhir 2016 berada pada Rp 53 dan sempat bergerak naik menjadi Rp 64 pada 17 Januari 2017. Namun sayang, sejak 15 Mei 2017, saham FREN bersandar pada Rp 50 hingga sekarang.

Yang paling hangat adalah saham PT Modern Internasional Tbk (MDRN). Saham ini cukup menjadi perhatian para investor karena salah satu anak usahanya yang mengelola gerai 7-Eleven tengah dirundung masalah.

Saham MDRN menutup akhir Tahun 2016 pada level Rp 110. Artinya, dengan level Rp 50 saat ini, penurunan saham MDRN telah mencapai 54,54 persen.

Grafik: Pergerakan Saham BABP, BEKS, FREN, dan MDRN Periode 30 Desember 2016 – 31 Juli 2017

Sumber: Bareksa.com

Analisa Fundamental

Menganalisa sebuah saham dengan metode fundamental, secara sederhana dapat dilihat dari bagaimana emiten menjalankan bisnisnya yang tercermin dalam laporan keuangan mereka. Melalui cara ini, bisa dilihat bagaimana kinerja keuangan empat emiten tersebut.

Misalnya saja Bank MNC. Sebenarnya, kinerja bisnis Bank MNC bertumbuh, terlihat dari jumlah pendapatan bunga bersih per Juni 2017 yang naik 24,29 persen dari Rp 162,03 miliar menjadi Rp 201,4 miliar. Tapi jumlah beban operasionalnya naik lebih tinggi dari Rp 125,43 miliar menjadi Rp 284,41 miliar.

Akibatnya, Bank MNC menderita rugi operasional sebesar Rp 83,01 miliar dari sebelumnya untung Rp 36,6 miliar. Hal ini pun membuat perseroan mengalami rugi tahun berjalan sebesar Rp 51,42 miliar dari sebelumnya laba Rp 6,63 miliar.

Untung saja, sang induk masih optimistis dengan kinerja Bank MNC dan siap menyuntikan modal hingga Rp 500 miliar pada semester II tahun ini.

Hal yang sama terlihat dari kinerja Bank Banten. Pendapatan bunga bersih Bank Banten tumbuh kencang 141,34 persen dari Rp43,73 miliar menjadi Rp 105,54 miliar. Hal ini karena perseroan berhasil menekan beban bunga dari Rp 221,56 miliar menjadi Rp 163,42 miliar.

Hasilnya, Bank Banten berhasil menekan kerugian dari Rp 191,59 miliar menjadi Rp 42,26 miliar. Kekuatan Bank Banten juga datang dari pemiliknya yakni PT Banten Global Development (BGD) yang mewakili Pemerintah Provinsi Banten.

Sementara itu, Smartfren yang merupakan perusahaan telekomunikasi milik Grup Sinarmas juga masih mencatat pertumbuhan usaha.  Per 30 Juni 2017, pendapatan Smartfren mencapai Rp2,14 triliun atau naik 35,44 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp 1,58 triliun.

Namun akibat adanya beban pajak tangguhan Rp 33,57 miliar, kerugian Smartfren justru membengkak menjadi Rp 1,16 triliun dari sebelumnya rugi Rp 667,77 miliar.

Adapun Modern Internasional yang berada dalam Grup Modern harus menderita kerugian Rp 456 miliar per kuartal I 2017. Kerugian ini akibat menurunnya pendapatan dari 7-Eleven. Dan bisa jadi, kerugian Modern Internasional kembali naik karena perseroan telah resmi menghentikan kegiatan bisnis 7-Eleven.

Lalu, dengan fundamental sederhana ini, apakah saham-saham tersebut masih layak dikoleksi? Menanggapi pertanyaan ini, Analis Senior PT Binaartha Sekuritas Reza Priyambada berpendapat, para investor belum tertarik terhadap saham-saham tersebut.

“Mereka masih rugi kan? Itu juga yang bikin ilfil pelaku pasar,” ujar Reza kepada Bareksa, Jumat, 4 Agustus 2017.

Reza melanjutkan, kalau di saham, semua based on valuasi dan persepsi. Tapi, dia menilai, lebih banyak persepsi terhadap saham. “Kalau si emiten tercatat rugi dalam beberapa periode, maka itu dipersepsikan negatif. Bagaimana mau kasih nilai tambah buat investor, lhaa masih rugi koq,” imbuhnya.

Lalu, jika emiten tersebut sudah tercatat untung, Reza mengatakan, hal itu hanya akan direspons positif sesaat.  “Kenapa? Timbul persepsi lagi, paling keuntungan yang didapat buat tambal kerugian periode sebelumnya, jadi belum bisa kasih nilai tambah buat perusahaan. Begitu seterusnya hingga si emiten benar-benar bisa kasih kinerja yang baik secara konstan bahkan kasih nilai tambah buat para investornya,” jelas Reza.