Bareksa.com – Beberapa pihak menilai rencana aksi unjuk rasa pada 2 Desember 2016 mendatang akan mendatangkan sentimen bagi pasar modal tanah air. Meskipun demikian, pengamat memberikan sejumlah pandangan yang berbeda mengenai kemungkinan dampak yang akan terjadi.
Seperti diberitakan oleh sejumlah media, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), organisasi massa yang dipimpin oleh Habib Rizieq, akan menggelar aksi lanjutan terkait dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Setelah demonstrasi tanggal 4 November 2016 berakhir ricuh, kali ini gerakan massa tersebut akan melakukan aksi 'gelar sajadah' di Jakarta.
Menanggapi rencana aksi ini, Chief Executive Officer PT Schroders Investment Management Indonesia Michael T. Tjoajadi menilai demonstrasi dapat memberi dampak buruk bagi keseluruhan ekonomi Indonesia. Pernyataan Michael juga berkaca dari aksi demonstrasi besar-besaran yang sudah terjadi sebelumnya. (Baca juga: Asing Keluar Dari Bursa Hingga Rp1T Setelah Demo Anarkis?)
“Tanpa kekerasan saja, demonstrasi itu berdampak negatif. Apalagi jika nanti ada kekerasan,” ujarnya.
Pada aksi demonstrasi sebelumnya, Michael melihat ada dampak negatif bagi beberapa sektor bisnis meskipun demonstrasi tersebut hanya terjadi di Jakarta. Salah satunya dari sektor properti.
Michael menjelaskan, banyak pengembang yang menunggu bahkan sampai menunda pengerjaan proyek properti untuk mencari kepastian atas berlangsungnya demonstrasi. “Untuk 2 Desember nanti, diprediksi juga akan menimbulkan efek negatif bagi ekonomi kita,” imbuh dia.
Demonstrasi, lanjut Michael, juga melengkapi sentimen negatif yang datang dari global pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Hal itu pun terlihat dari fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang bahkan sempat jatuh dalam setelah mendapat sentimen bertubi-tubi dari Trump dan demonstrasi.
Grafik: Pergerakan IHSG November 2016
Sumber: Bareksa.com
Di sisi lain, Cholis Baidowi, Chief Investment Officer Syailendra Capital berharap tidak akan terjadi hal yang buruk setelah aksi 2 Desember nanti. Menurutnya, pelaku unjuk rasa sudah membuat kesepakatan dengan pihak berwenang termasuk Kepolisian RI untuk memastikan aksi berlangsung damai.
"Cukup yakin mayoritas di pihak yang moderat, tidak menginginkan perubahan dramatis. Meskipun memang pasar modal sangat berkaitan dengan stabilitas politik," ujarnya kepada Bareksa.com.
Dia menilai bahwa reaksi pasar pada kejadian sebelumnya yaitu 4 November tidak terlalu negatif. Saat itu, sentimen luar negeri yang lebih mendominasi. "Intinya, sepanjang stabilitas politik dijaga, momentum pertumbuhan ekonomi terjaga dan pasar akan aman," imbuh Cholis.
Menjelang demo besar awal bulan ini, IHSG memang ditutup turun 1,4 persen pada 3 November 2016. Akan tetapi, setelah aksi selesai pada tanggal 4 November 2016, indeks justru rebound 0,62 persen.
Namun, kemudian datang sentimen dari luar negeri yakni terpilihanya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Beberapa mata uang dunia pun melemah terhadap dolar AS. “Karena tentu saja, politik di AS telah menjadi global impact yang negatif bagi negara lain,” ungkap Michael.
Namun Michael berharap, ke depan kepemimpinan Trump di AS tidak memicu praktik perang dagang terkait rencana AS yang akan menaikkan tarif impor. Dia juga mengatakan, sebaiknya pemerintah Indonesia mempercepat belanja modal dan belanja barang, karena 60 persen pertumbuhan ekonomi nasional ditopang konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. (hm)