7 Saham Ini Bangkit dari Klub 'Saham Gocap', Simak Kisahnya

Bareksa • 17 Jun 2016

an image
Pialang mengamati pergerakan angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta - (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Beberapa mendapat dorongan positif dari aksi korporasi, yang lain bangkit terdorong sentimen belaka

Bareksa.com - Sejumlah saham yang sudah menyentuh batas terendah perdagangan di pasar reguler Bursa Efek Indonesia akhir-akhir ini bangkit terdorong oleh sentimen dan spekulasi, termasuk yang terjadi pada emiten tambang Grup Bakrie yaitu PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Saham-saham yang bangkit dari level Rp50 memang menawarkan peningkatan signifikan saat bergerak pertama kali dari tidur panjang mereka.

Namun, apakah kebangkitan saham-saham gocap ini selalu menawarkan keuntungan berkepanjangan, atau malah menjadi jebakan bagi para trader?

Bareksa memantau berapa lama tujuh saham yang pernah dan masih menjadi anggota klub gocap. Beberapa memang mendapat dorongan positif dari aksi korporasi meski kebanyakan bangkit hanya terdorong sentimen belaka. Berikut ulasannya.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

Karena jumlah saham beredarnya yang cukup besar, saham emiten tambang batu bara ini bisa dibilang sebagai saham sejuta umat -- meski total investornya per Mei 2016 hanya sebanyak 31.836 pihak. Total kepemilikan publik di saham ini sebesar 70,52 persen modal disetornya.

BUMI sempat menjadi primadona di pasar modal dan mencapai puncak di kisaran harga Rp8.000 pada tahun 2008 ketika komoditas batu bara sedang booming. Akan tetapi, seiring dengan turunnya popularitas komoditas tersebut dan berbagai skandal yang muncul hingga menekan kinerja keuangannya, saham BUMI pun resmi masuk klub gocap pada 27 Juni 2015.

Pada awal pekan ini, saham BUMI sempat melonjak 34 persen karena sentimen masih belum selesainya verifikasi tagihan beberapa kreditur, sehingga BUMI memilih untuk memperpanjang masa penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) selama 21 hari. Dua hari naik signifikan hingga menyentuh level Rp82, regulator terpaksa menetapkan saham ini bergerak tidak wajar (unusual market activity) dan BUMI pun merosot 7,32 persen pada 14 Juni 2016.

Pada Kamis 16 Juni 2016, saham BUMI kembali tersungkur 6,9 persen ke Rp79 setelah sehari sebelumnya naik 10,53 persen hingga menyentuh Rp84. Memang saham BUMI tidak pernah diprediksi, tetapi setiap ada pergerakan jumlah antrean jual selalu lebih besar dibandingkan antrean beli.

Pergerakan BUMI melangkah dari level Rp50 sebelumnya juga pernah terjadi. Saham ini juga sempat melonjak selama dua hari perdagangan hingga mencapai Rp83 pada 12 Oktober 2015. Sentimen yang menggerakkan saham BUMI saat itu adalah soal penyelesaian utangnya yang menggunung. Akan tetapi, sepekan berikutnya BUMI pun kembali mentok di harga Rp50 per saham pada tanggal 20 Oktober 2015.

PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS)

Saham BRMS yang merupakan 'anak kandung' dari BUMI selalu bergerak mengikuti induknya. Awal pekan ini saat BUMI melonjak 34 persen, BRMS pun bangkit dari tidur panjangnya dan ditutup di Rp56 pada 10 Juni 2016. Fluktuasi di saham BRMS tidak dapat dihindari selama tiga hari perdagangan terakhir. Per 16 Juni, BRMS kembali turun hingga Rp53.

Sebelumnya, saham emiten tambang mineral ini juga pernah bangkit dari tidur panjangnya, karena terdorong sentimen isu asetnya akan dibeli oleh pemilik PT Medco Energi Tbk (MEDC). PT Newmont Nusa Tenggara, yang efektif 18 persennya dipegang BRMS, membagikan dividen cukup besar. Nilai dividen itu per kuartal ketiga 2015 mencapai Rp5,4 triliun dan berkontribusi pada laba investasi, padahal BRMS sendiri masih mencatat kerugian.

Akibat sentimen tersebut, saham BRMS naik 21,57 persen ke Rp62 pada 6 April 2016. Akan tetapi, pergerakan positif itu tidak bertahan lama, pada tujuh hari perdagangan berikutnya, BRMS pun kembali masuk ke level gocap.

PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG)

Emiten tambang minyak dan gas ini juga terafiliasi dengan Grup Bakrie meski paling buntut masuk ke klub gocap yaitu per tanggal 16 Oktober 2015. Segera setelah menyentuh Rp50, saham ENRG sempat berfluktuasi ke Rp51 beberapa kali. Namun, sejak 28 Oktober 2015, saham ENRG tidak pernah bangun lagi.

Sama seperti saudara-saudaranya, ENRG terbebani dengan utang yang menumpuk hingga likuiditasnya tidak cukup menutupi beban itu. Padahal, ENRG memiliki satu aset migas yang berproduksi dan berkontribusi cukup besar, yakni blok Offshore North West Java (ONWJ) dengan kepemilikan efektif 18,73 persen.

Tabel: Lama Periode Bergeraknya Saham-Saham Klub Gocap

Sumber: kompilasi Bareksa.com

Selanjutnya Ulasan SIPD, TRAM, CPRO, DNET

((pba))

PT Sierad Produce Tbk (SIPD)

Emiten pakan dan pembibitan ayam ternak ini sudah listing di bursa cukup lama yaitu sejak Desember 1996. Sudah cukup lama SIPD dihargai 'recehan' bahkan sempat menyentuh Rp10 pada 2003 karena saat itu belum ada peraturan harga minimum terendah pasar reguler. Sempat tidur panjang di level Rp50 selama krisis 2008, SIPD terus berfluktuasi dan kembali mentok di level terendah hingga 4 Februari 2015.

Akan tetapi, SIPD memiliki rencana aksi korporasi yang mendorong sahamnya sekaligus membawa masuk investor baru di tahun 2015 dan mengakhiri statusnya sebagai 'recehan'. SIPD melakukan reverse stock split -- atau pengurangan jumlah saham beredar -- yang menjadikan harganya naik 10 kali lipat.

Aksi reverse stock split tersebut diikuti dengan rights issue, yang menjadi jalan masuk Grup Gunung Sewu milik taipan Dasuki Angkosubroto sebagai pemegang saham pengendali. Setelah rights issue senilai Rp1 triliun itu, saham SIPD pun resmi berafiliasi dengan Great Giant Pineapple, pemilik perkebunan nanas terbesar nasional sekaligus produsen pisang bermerek Sunpride.

Saat reverse stock split efektif, harga saham SIPD memang sempat turun dari Rp500 ke Rp470 pada 5 Februari 2015. Namun, semenjak itu harga sahamnya terus naik hingga ke puncaknya sepanjang sejarah di Rp1.000. Saham SIPD terakhir diperdagangkan pada Rp600 pada penutupan 16 Juni 2016.

PT Trada Maritime Tbk (TRAM)

Saham emiten perkapalan ini terus dirundung musibah. Setelah salah satu kapalnya terbakar, kapal lainnya terlibat penyelundupan minyak sehingga klien besarnya memutus kontrak. Masalah tidak sampai di situ, beredar kabar di pasar yang mengatakan saham TRAM menjadi obyek gadai saham (repo).

TRAM resmi menyentuh level Rp50 pada 28 April 2015. Sempat naik ke Rp57 pada 17 Mei 2015 dan berfluktuasi selama sebulan kemudian, harga saham TRAM pun kembali mentok di level gocap. Hingga saat ini, saham emiten perkapalan ini masih tenggelam di dasar bursa.

PT Central Proteina Prima Tbk (CPRO)

Emiten yang bergerak di agribisnis ini memiliki bisnis utama sebagai produsen pakan ikan dan udang. Perseroan merupakan eksportir udang terbesar dari Indonesia. Saham CPRO menyentuh Rp50 sejak 2009 tetapi bangkit di akhir tahun 2014 akibat gebrakan Menteri Susi Pudjiastuti yang mendorong perikanan nasional.

Pada 21 November 2014, saham CPRO naik 34 persen ke level Rp67 dan sempat menyentuh level tertinggi Rp132 pada 13 Januari 2015. Akan tetapi, harga sahamnya tidak bisa naik lebih tinggi dan kembali ke Rp50 pada pertengahan 2015. Kinerja keuangan perseroan masih terbebani utang denominasi dolar yang saat ini sedang ditata ulang senilai US$325 juta.

Kuartal pertama tahun ini, CPRO sudah bisa mencatatkan laba bersih dan membalikkan kerugian tahun lalu karena penguatan rupiah yang membantu kinerja keuangannya. Di saat yang sama, pendapatan perseroan sedikit naik yang terdorong kinerja segmen pakan budidaya. Saham CPRO sempat berfluktuasi dua hari tetapi kembali mentok di Rp50 pada penutupan 16 Juni 2016.

PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET)

DNET saat ini adalah sebuah holding yang berinvestasi pada tiga perusahaan konsumsi dan ritel besar yaitu PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI), dan PT Indomarco Primatama (Indomaret). Meski sekarang harganya sudah berada di kisaran Rp1.000, saham DNET dulu pernah mati suri di level gocap.

Tercatat di bursa sejak Desember 2000, DNET dulu bernama PT Dyviacom Intrabumi Tbk yang menyediakan jasa infrastruktur teknologi internet dan operator website Ogahrugi.com. Sudah menjadi recehan sejak tahun 2006, saham DNET pernah menyentuh Rp30 saat belum ada pembatasan harga minimum di pasar reguler.

Namun, DNET berhasil keluar dari klub recehan semenjak rencana rights issue senilai Rp7 triliun yang membawa masuk tiga perusahaan Grup Salim pada 2013. Harga saham DNET mulai melonjak sejak 16 April 2013 dan terus menyentuh batas autoreject atas selama 13 kali perdagangan berturut-turut hingga puncaknya di Rp1.210, saat bursa menghentikan sementara transaksinya.

Investor yang sudah memegang DNET sejak rencana rights issue tersebut bagaikan memenangkan jackpot karena meski mengalami suspensi, saham ini tetap ramai diperdagangkan di pasar negosiasi. Perlu diketahui, saham DNET bahkan pernah ditransaksikan di level Rp30.000 di pasar negosiasi.

Sejak rights issue efektif, harga saham DNET terus stabil di Rp1.000. Rencana terakhir, perseroan pun akan melakukan penawaran saham lagi senilai Rp1 triliun, kali ini tanpa rights.