Inilah Instrumen Investasi yang Menguntungkan & Merugikan Sepanjang 2015

Bareksa • 05 Jan 2016

an image
Pialang mengamati pergerakan angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta - (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

2015, Indeks Reksa Dana Pasar Uang naik 4,27%, lebih tinggi dari inflasi 3,5% & setara dengan return properti

Bareksa.com - Perlambatan ekonomi dunia yang turut berimbas kepada Indonesia sepanjang 2015 membuat investasi sulit berkembang. Sejumlah instrumen investasi bergerak negatif. Namun, adakah instrumen investasi yang masih bisa memberi return positif di tengah tekanan sepanjang tahun lalu?

Sepanjang 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun cukup dalam sebesar 12,13 persen. Hal tersebut berimbas pada sejumlah instrumen lain yang berhubungan langsung dengan saham. Data Bareksa menunjukkan penurunan indeks reksa dana saham sepanjang 2015 sebesar 13,59 persen, dan reksa dana campuran sebesar 7,88 persen.

Grafik: Return Negatif IHSG & Reksa Dana Terkait Saham


sumber: Bareksa.com

Tidak hanya itu, investasi yang selama ini dianggap paling aman dan mudah yakni emas, juga mengalami nasib serupa. Di pasar komoditas, harga emas dunia ambrol lebih dalam dari pergerakan saham. Data Bareksa menunjukkan harga emas per 30 Desember 2015 sudah amblas 22,6 persen menjadi $1.061 per troy ounce dari sebelumnya $1.371 per troy ounce pada 30 Desember 2014.

Grafik: Harga Emas Dunia


sumber: Bareksa

Penurunan harga emas dunia tentunya berdampak pada investasi logam mulia di dalam negeri. Per 30 Desember 2014, harga jual emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam) masih berada di level Rp489.000 per gram, sementara pada 30 Desember 2015 Antam memasang harga jual Rp505.000 per gram atau naik 3,27 persen. Tapi masalahnya, Antam memasang harga beli kembali (buyback) yang lebih rendah, yakni sebesar Rp468.000 per gram.

Grafik: Harga Emas Aneka Tambang


sumber: Bareksa

Harga buyback adalah harga yang digunakan jika kita menjual kembali logam mulia kepada Antam. Misalnya, jika kita membeli pada awal 2015 pada harga Rp489.000 per gram, dan kemudian menjual kembali kepada Antam pada akhir 2015, maka Antam akan menggunakan harga acuan sebesar Rp468.000 per gram untuk membeli logam mulia tersebut. Walhasil bukannya untung, kita justru menderita rugi sebesar 3 persen.

Lalu, investasi apa yang menguntungkan di tengah beratnya kondisi perekonomian 2015?

Perlu diketahui bahwa tidak semua instrumen bergerak negatif selama 2015. Contoh paling nyata adalah investasi dalam mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat. Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai tukar dolar terhadap rupiah menguat 10,92 persen ke level Rp13.863 per dolar dari sebelumnya di level Rp12.498 per dolar.

Penguatan dolar terjadi menyusul perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang mendorong The Fed  meningkatkan suku bunga acuan. Hal tersebut memicu kembalinya dana investasi ke Negeri Paman Sam dan meningkatkan permintaan dolar.

Grafik: Pergerakan Nilai Tukar Dolar AS


sumber: Bank Indonesia, diolah Bareksa

Berikutnya ada juga investasi di bidang properti yang mampu memberi return cukup memuaskan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia, harga properti residensial pada kuartal IV-2015 mampu naik 4,27 persen dari tahun sebelumnya. Namun, investasi properti tentunya tidak semudah yang dibayangkan lantaran tingkat likuiditasnya relatif lebih rendah dibanding instrumen investasi di pasar keuangan.

Grafik: Indeks Harga Properti Residensial


sumber: Survey Bank Indonesia

Faktanya, menjual properti pada 2015 tidaklah mudah. Dalam survei BI dinyatakan bahwa pertumbuhan penjualan properti sampai kuartal III-2015 melambat menjadi 7,66 persen, jauh di bawah rata-rata penjualan tiga tahun terakhir di level 23,66 persen. Menurut BI, perlambatan pertumbuhan penjualan terjadi karena konsumen menunda pembelian karena kondisi fundamental ekonomi yang melambat.

Grafik: Pertumbuhan Penjualan Properti


sumber: Survey Bank Indonesia

Yang menarik, ada instrumen investasi 'likuid' yang berhasil menyamai prestasi properti pada 2015, yakni reksa dana pasar uang. Berdasarkan data Bareksa, indeks reksa dana pasar uang berhasil naik 4,27 persen sepanjang 2015 (lihat grafik I). Reksa dana jenis ini menempatkan 80 persen dananya pada deposito, dan sisanya pada obligasi jangka pendek. Walhasil return yang diberikan lebih stabil dibanding reksa dana jenis lainnya.

Grafik: Return Reksa Dana Pendapatan Tetap & Pasar Uang

 

sumber: Bareksa

Reksa dana pasar uang berhasil mengalahkan return reksa dana pendapatan tetap sebesar 2,59 persen. Sayangnya, return reksa dana pendapatan tetap tidak bisa mengalahkan tingkat inflasi 2015 sebesar 3,35 persen.