Berita / / Artikel

Harga Minyak Diprediksi Menyentuh $20 per Barel, Bahayakah?

• 15 Sep 2015

an image
File photo of Baiji oil refinery, north of Baghdad (REUTERS/Thaier al-Sudani)

Turunnya harga minyak dikhawatirkan menyebabkan permasalahan keuangan perusahaan energi AS yang memiliki "junk food"

Bareksa.com – Sempat dibuka menguat ke level $44,82 per barel, harga minyak dunia kembali melemah ke level $44,32 pada pukul 03.45 waktu setempat perdagangan hari ini--Senin, 14 September 2015 waktu Indonesia.

Salah satu penyebabnya adalah riset Goldman Sachs yang memangkas proyeksi harga minyak mentah dunia ke level $20 per barel pada tahun ini.

Dalam diskusinya dengan CNBC, kepala riset komoditas Goldman Jeffrey Currie mengungkapkan harga minyak tidak akan pulih jika produsen-produsen minyak masih tidak mau memangkas produksi.

Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya minyak mentah di tangki-tangki penyimpanan. Goldman mencatat stok penyimpanan dari Januari - Agustus telah meningkat 240 juta barel. Angka ini, menurut Goldman, di luar data penyimpanan China yang mencapai 375 juta barel.

"If you don't bring U.S. or global production down low enough underneath demand to create that rebalancing then you're likely to slam into storage capacity constraints and that would put that downward pressure," ujar  Currie.

Permasalahannya, akan ada banyak perusahaan energi yang mengalami problem keuangan jika harga minyak jatuh hingga ke level tersebut. Pasalnya, 15 - 20 persen perusahaan energi negeri Paman Sam banyak menerbitkan obligasi sampah (junk debt) dengan bunga yang sangat tinggi.   

"Saya tidak meragukan pasar obligasi high-yield akan memburuk. Tetapi, muncul kekhawatiran lebih besar bahwa kurangnya likuiditas di obligasi high-yield ini akan merembet ke pasar obligasi secara keseluruhan," kata James Farro dari Coghlan Capital di CNBC.

Kondisi ini menjadi semacam peringatan tersendiri bagi para pelaku pasar. Terlebih, kondisi ini mulai dihubung-hubungkan dengan kondisi yang terjadi pada 1996-1998. Sebagai gambaran, harga minyak dunia saat itu melorot 59 persen ke level $26,16 per barel. Sementara nilai tukar dolar AS sangat perkasa dibanding mata uang negara lain.

Perbandingan Grafik Pergerakan Harga Minyak dengan Nilai Tukar Periode 1996-1998

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Berdasarkan data Bareksa, penurunan harga minyak berkorelasi positif dengan meningkatnya nilai tukar dolar AS terhadap Rupiah. Pelemahan harga minyak juga berkorelasi positif dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Grafik Perbandingan Harga Minyak dengan IHSG Periode 1996-1998

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Pada 1996 - 1998, pergerakan IHSG berkorelasi positif dengan turunnya harga minyak kala itu. Namun, perlu dicatat, turunnya harga minyak bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya krisis tersebut. (Baca juga: Nilai Tukar Terus Melemah, Benarkah Kondisi Saat Ini Sama dengan Krisis 1997?)

Korelasi pergerakan harga minyak dengan pergerakan IHSG nilainya terus meningkat hingga 2008 mencapai 87,57 persen. Kenaikan harga minyak mendorong harga komoditas substitusi, seperti batu bara, gas, dan juga CPO ikut membumbung. Imbasnya, harga saham-saham produsen produk tersebut pun ikut melonjak.

Namun, kondisi berbeda ditunjukkan pada periode 2008-2014, di mana pergerakan IHSG lebih didorong oleh saham sektor lain, seperti perbankan dan properti.

Grafik Perbandingan Harga Minyak dengan IHSG Periode 2002-2008

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Tags: