Suku Bunga Acuan The Fed Lebih Baik Segera Naik, Kenapa?

Bareksa • 31 Aug 2015

an image
A trader looks at his screens in front of the German share price index DAX board at the stock exchange in Frankfurt, Germany June 16, 2015. REUTERS/Ralph Orlowski

Sejumlah pejabat bank sentral sudah mengantisipasi naiknya suku bunga acuan

Bareksa.com - Sejumlah pejabat bank sentral di seluruh dunia sudah mengatakan kesiapannya bila Federal Reserve ingin menaikkan suku bunga acuan. Meskipun kebijakan The Fed menaikkan tingkat bunga dapat menahan pertumbuhan di negara lain, setidaknya sudah ada kepastian yang terjawab.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut memang sudah sejak dua tahun lalu ingin mengurangi stimulus, saat ekonomi mulai kembali normal. Stimulus, yang biasa disebut dengan quantitative easing (QE), merupakan upaya The Fed memulihkan perekonomian AS, setelah krisis 2008 akibat subprime mortgage.

Sejak 2013, The Fed memang sudah melakukan tapering, yaitu mengurangi pemberian stimulus ke pasar karena kondisi sudah dianggap normal. Setelah tapering, The Fed ingin suku bunga naik kembali, tetapi belum direalisasikan juga.

Kenaikan suku bunga ini, selalu dirasakan sebagai ancaman, dan memberi sentimen negatif, terutama bagi pasar emerging market. Kenaikan bunga The Fed diprediksi akan membuat dana kembali mengalir ke Negara Adidaya tersebut. Investor pun mulai menarik dana dari pasar emerging market, sehingga harga saham turun dan mata uang terdepresiasi. Kondisi ini menjadi semacam krisis, yang tidak hanya menimpa Indonesia tetapi juga negara emerging market lainnya.

Grafik Perbandingan Return Indeks Saham

Sumber: Bursa Efek Indonesia

Meski sudah menyatakan akan menaikkan suku bunga, The Fed tidak memastikan kapan tindakan itu akan dilakukan. Spekulasi pun terus bermunculan dan akibatnya dirasakan di pasar saham dan nilai tukar dolar terus menguat.

Para pejabat bank sentral, yang bertemu pekan lalu dalam sebuah konferensi di Jackson Hole, juga mengungkapkan pesan ini kepada The Fed. Setelah The Fed mengumumkan pengetatan moneter, sehingga membawa dolar terus menguat, para bank sentral di negara lain sudah mengungkapkan kesiapan mereka.

Bagi Mexico, contohnya, penaikan suku bunga acuan oleh negara tetangganya menunjukkan ekonomi yang sehat. Meskipun langkah tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di Negara Latin itu karena juga akan menaikkan suku bunga.

"Jika The Fed melakukan pengetatan, itu karena fakta bahwa mereka memiliki persepsi inflasi akan naik. Tetapi terpenting pengangguran turun dan ekonomi kembali pulih. Bagi kami, ini berita bagus," ujar Gubernur Bank Sentral Mexico Agustin Carstens seperti dikutip Reuters.

Indonesia juga menantikan hal yang sama. Meski pertumbuhan ekonomi nasional sudah melambat menjadi 4,67 persen pada semester pertama tahun ini, Bank Indonesia juga tidak menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar juga semakin terdepresiasi.

Oleh sebab itu, penaikan suku bunga The Fed ini menjadi sebuah kebijakan yang sudah diantisipasi oleh berbagai bank sentral termasuk di India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia.

"Bila ada kepastian, itu lebih baik," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara ketika ditanya tentang penaikan suku bunga The Fed yang akan terjadi pada September.

Namun, bank sentral China (POBC) justru menolak penaikan suku bunga itu, dan meminta penundaan sampai ekonomi global semakin kuat. China sendiri sudah melakukan devaluasi terhadap mata uangnya untuk mendorong daya saing ekspor global meski tidak akan melanjutkan lebih jauh.

Depresiasi Rupiah

Akibat penguatan dolar, dan diikuti kebijakan China melakukan devaluasi terhadap yuan, nilai tukar rupiah selama setahun terakhir pun terdepresiasi hingga 20 persen terhadap dolar.

Grafik Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

Sumber: Bareksa.com

Direktur Utama Syailendra Capital Jos Parengkuan mengatakan depresiasi rupiah terhadap dolar akan menjadi kunci pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) ke depannya, setelah mencatatkan return minus 14 persen sejak awal tahun ini.

Nilai tukar rupiah yang makin terdepresiasi akan menggerus investasi para pemodal asing, sehingga mereka lebih baik keluar dari pasar Indonesia. "Kalau nilai tukar bisa mencapai Rp15.000 per dolar AS, apapun fundamentalnya, investor asing akan segera keluar dari pasar saham Indonesia," katanya.

Setelah krisis menimpa bursa saham Indonesia, dan regional, IHSG ternyata sudah mengalami penurunan yang cukup dalam. Bahkan, rasio nilai harga dibandingkan laba (PE) juga sudah termasuk murah dibanding rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir. PE ratio IHSG pada 28 Agustus 2015 hanya 10,74 kali, sudah berada di bawah rata-rata PE 10 tahun sekitar 14,91 kali.

Grafik PE IHSG dalam 10 Tahun

Sumber: Bareksa.com

Oleh sebab itu, Jos Parengkuan, yang mengelola Rp3,5 triliun di Syailendra Capital per Juli, mengatakan bahwa kepastian kapan suku bunga The Fed akan naik dapat menjadi sentimen positif bagi IHSG. Bila langkah itu terus tertunda, ketidakpastian akan semakin lama dan memberi spekulasi makin dalam.

"Kalau The Fed rate naik, itu jadi sentimen bagus buat kita. Paling tidak satu ketidakpastian sudah hilang," ujarnya.