Bahaya dari China Membayangi Libur Lebaran, Rupiah Aman?

Bareksa • 15 Jul 2015

an image
Indonesia's President Joko Widodo (L) shakes hands with China's President Xi Jinping before a meeting at the Great Hall of the People in Beijing. - (REUTERS/Jason Lee)

IHSG ditutup negatif 0,65% pada perdagangan Rabu, menjelang libur Lebaran.

Bareksa.com - Libur Lebaran para investor dibayangi kecemasan akan kondisi China -- di mana jika situasi memburuk impaknya bisa mengempaskan pasar saham Indonesia. Kekhawatiran ini muncul di tengah tekanan terhadap rupiah yang diproyeksi akan berkurang dengan mulai tercapainya kesepakatan untuk mem-bail out Yunani serta menipisnya kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga pada bulan September mendatang.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Rabu 15 Juli 2015 terkoreksi 0,65 persen menjadi 4.869,85.

Menurut seorang manajer investasi yang mengelola dana Rp10 triliun (dia tak bersedia disebutkan namanya), volatilitas bursa saham China masih menghantui pergerakan harga saham di Indonesia. Ketika harga saham di China meroket hingga 150 persen dalam periode Juli 2014 - Mei 2015, IHSG justru merosot akibat dana investor asing tersedot ke Negeri Tirai Bambu.

Dan masalahnya, ketika harga saham di China mulai ambrol, fenomena ini tidak membuat dana asing berpindah kembali ke Indonesia dan malahan ikut menekan IHSG lebih dalam. (Baca juga: Sebulan Saham China Ambrol 30%, Peluang Atau Ancaman Buat Indonesia?)

Grafik: Pergerakan IHSG Dan Arus Dana Investor Asing

Sumber: Bareksa.com

Ambrolnya harga saham di China itu akibat dari lonjakan harga saham yang kelewat cepat tanpa ditopang fondasi ekonomi yang riil. Valuasi saham menggunakan Price to Earning Ratio mencapai 50 kali. Artinya, harga saham di China mencapai lebih dari 50 kali laba yang dihasilkan perusahaan. Kondisi ini diperparah oleh tindakan investor ritel yang banyak menggunakan fasilitas marjin (pinjaman) dalam membiayai trading saham mereka. (Baca juga: Jatuhnya Indeks Saham China, Pelajaran Bagi Pemain Saham Pakai Marjin)

Untuk meredam kepanikan, pemerintah China melakukan suspensi terhadap lebih dari 700 saham atau 26 persen dari perusahaan yang tercatat di bursa China. Diberitakan Bloomberg, sebagian besar saham yang terkena suspensi itu adalah yang tercatat di bursa Shenzen, yang didominasi perusahaan kecil. Suspensi mengunci saham senilai total $1,4 triliun atau 21 persen dari kapitalisasi pasar China.

Investor ritel yang mendorong keambrukan bursa China mayoritas memegang saham perusahaan-perusahaan kecil. Yang masih bisa diperdagangkan hanyalah saham-saham bluechip -- saham perusahaan besar dengan nilai kapitalisasi besar. Jadi, praktis hanya para manajer investasi besar yang bisa melakukan penjualan

Tak cuma itu, untuk menahan pasar saham amblas lebih dalam, pemerintah China memerintahkan BUMN-BUMN memborong saham.

Langkah itu membuat Indeks Shanghai kembali naik 3,2 persen pada periode 29 Juni 2015 - 15 Juli 2015. Masalahnya, apakah tindakan ini bisa meredam kepanikan investor China? Apa yang bakal terjadi setelah suspensi dicabut?

"Kalau investor retail ramai-ramai keluar (jual saham), indeks China bisa turun lagi. Ini bisa jadi sentimen negatif buat negara-negara berkembang," ujar manajer investasi itu. 

Gejala itu sudah terlihat. Ketika harga saham di China anjlok 30 persen, pasar saham di Indonesia langsung tertekan. "Saham China naik, menekan harga saham Indonesia. Ketika saham China turun, juga turut mendorong koreksi IHSG. Kita lihat minggu depan. Jika pemerintah China tidak berhasil, IHSG bisa ambrol lagi."

Grafik: Pergerakan IHSG dan Indeks Shanghai

Sumber: Bareksa.com

Di sisi lain, tekanan pada rupiah usai libur Lebaran diperkirakan akan berkurang. Beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah tensi antara Yunani dan Uni Eropa mulai mereda, serta besarnya kemungkinan The Fed akan kembali memundurkan jadwal menaikkan suku bunga.

Pada Senin 13 Juli 2015, akhirnya Uni Eropa menyepakati dana talangan untuk Yunani sebesar 86 miliar euro. Hal ini meredakan tensi yang sebelumnya memanas setelah referendum Yunani memenangkan suara "tidak" terhadap rancangan awal bailout Yunani. Yield obligasi 10 tahun beberapa negara Eropa mulai stabil, setelah melonjak drastis sejak pertengahan Mei lalu.

Grafik: Yield 10 Tahun Obligasi Pemerintah Perancis & Jerman

Sumber: tradingeconomics.com

Grafik: Survei Peningkatan Suku Bunga Amerika

Sumber: Bloomberg

Selain itu, survei terakhir yang dilakukan Bloomberg terhadap sejumlah bank di Amerika menunjukkan ada penurunan probabilitas kenaikan Fed Rate di bulan September mendatang -- meski tetap di kisaran 70 persen lebih. Survei pada bulan Mei menunjukkan 79 persen responden mengharapkan Fed Rate bakal naik di bulan September, survey Juni turun menjadi 78 persen, dan Juli kembali merosot jadi 76 persen. Hal ini menunjukkan adanya keraguan di kalangan perbankan Amerika seiring bergejolaknya perekonomian global, yang menjalar dari Yunani dan China. (np)