Jatuhnya Indeks Saham China, Pelajaran Bagi Pemain Saham Pakai Margin

Bareksa • 14 Jul 2015

an image
Investors look at computer screens showing stock information at a brokerage house in Shanghai, China, July 8, 2015. (REUTERS/Aly Song)

Banyak investor ritel di China yang melakukan pembelian saham dengan Margin

Bareksa.com – Anjloknya pasar saham China, Shanghai Stock Exchange yang sempat turun lebih dari 30 persen dalam waktu 3 minggu, dapat menjadi pelajaran bahwa diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai investasi bagi masyarakat sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Pasalnya, salah satu penyebab turunnya indeks Shanghai adalah kepanikan yang terjadi di kalangan pelaku pasar yang menggunakan margin.

Transaksi margin merupakan transaksi yang difasilitasi dengan dana perusahaan perantara pedagang efek (broker). Misalnya jika nasabah hanya melakukan deposit dana Rp10 juta, tetapi karena menggunakan fasilitas margin, nasabah bisa melakukan pembelian saham hingga Rp20 juta (jika rasio margin 1:1, pembiayaan satu kali nilai ekuitasnya). Sisa Rp10 juta dipinjami oleh broker.

Risikonya tentu menjadi dua kali lipat. Jika harga saham turun 30 persen, maka seharusnya nasabah hanya rugi Rp3 juta sehingga uangnya masih tersisa Rp7 Juta. Akibat menggunakan margin, kerugian jadi berlipat. Dengan penurunan harga saham yang sama, kerugian yang diderita nasabah jadi Rp6 juta, dan sisa uangnya hanya Rp4 juta. Kerugian itu bisa lebih besar karena belum termasuk dengan biaya bunga yang timbul atas pinjaman dana ke broker.

Sementara itu investor ritel di China yang baru mulai melakukan pembelian saham hanya mengandalkan feeling dan kabar burung tanpa melakukan analisa terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli atau menjual saham semakin memperparah risiko investor.

Efeknya luar biasa. Ketika harga saham di China mulai ambrol, timbul kepanikan karena ketidaktahuan investor China dalam menilai kondisi pasar dan bagaimana cara menghadapinya.

“Terjadi peningkatan penjualan saham besar-besaran yang tak rasional,” ujar Deng Ge, juru bicara Komisi Regulator Sekuritas China dalam keterbukaannya kepada media pada akhir pekan lalu.

CNN pun mencatat dana yang keluar akibat kepanikan tersebut nilainya mencapai $3,25 triliun. Nilai ini lebih dari 8 kali lipat kapitalisasi pasar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) per akhir Juni 2015 yang mencapai Rp5.000,32 triliun atau $380 miliar.

***

Investasi di pasar saham negeri Tirai Bambu mulai berkembang secara signifikan setelah pemerintah menyarankan agar warganya membeli saham. Kebijakan Bank Rakyat China (PBOC) yang terus menurunkan suku bunga acuannya juga ikut mendorong ikut mendorong masyarakat China mengalihkan dananya ke dalam investasi saham. Suku bunga PBOC turun menjadi hanya 4,85 persen di bulan Juni 2015, padahal nilainya pada tahun lalu masih bertengger di level 6 persen.

Grafik Suku Bunga Acuan China Periode 2012-2015

Imbasnya, jumlah investor saham pun meningkat. Berdasarkan Standard Bank di Beijing, jumlah rekening individu yang baru membuka rekening di tahun 2015 tercatat meningkat 52 juta rekening. Selain itu, porsi investor ritel pun menguasai hampir 80 persen dana yang ada di pasar saham China.

Indeks saham di China tiba-tiba melonjak 150 persen hanya dalam waktu satu tahun.

“Saking boomingnya, sampai-sampai tukang cukur di sana (China) pun berinvestasi di pasar saham sambil menunggu pelanggan,” ujar Jos Parengkuan, CEO Syailendra Capital kepada Bareksa.

Grafik Pergerakan Indeks Saham di China Periode 5 Tahun

Sumber: Yahoo Finance

Namun, minat investasi yang besar ini sayangnya tidak disertai edukasi. Masyarakat membeli dan menjual saham hanya berdasarkan rumor semata tanpa mempelajari kondisi keuangan perusahaan yang sahamnya akan dibeli. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pelaku pasar yang menggunakan fasilitas transaksi margin. Goldman Sach mencatat dalam laporan risetnya bahwa fasilitas margin di China. nilainya sudah mencapai 2,2 triliun yuan atau setara $355 miliar.

Terlebih, jika kondisi pasar saham tengah mengalami tekanan atau koreksi maka bukan tidak mungkin jika perusahaan sekuritas menerapkan margin call.

Margin call adalah permintaan penambahan dana dari broker kepada nasabahnya untuk menutupi kerugian dan biaya dari penggunaan fasilitas margin. Jika nasabah tidak melakukan penambahan dana, maka pihak broker secara terpaksa akan menjual kepemilikan saham nasabah untuk menutupi beban akibat penggunaan fasilitas margin.

***

Sebetulnya risiko investasi di pasar saham tidak akan sebesar itu jika dilakukan dengan benar. Sebelumnya investor harus mempelajari kondisi keuangan perusahaan saham yang akan kita beli serta memperhatikan kondisi makro ekonomi. Dan sangat disarankan untuk tidak menggunakan fasilitas margin karena fluktuasi perdagangan saham yang tinggi.

Lebih baik lagi jika jangka waktu investasi panjang, tidak jangka pendek (hanya trading). (Baca juga: Tips memilih saham yang bagus)

Sayangnya kebanyakan investor ritel yang baru memulai investasi di pasar modal tidak sabar dan ingin cepat memperoleh keuntungan secara instan. Akibatnya mudah tergiur melakukan trading jangka pendek yang hanya mengandalkan feeling dan lebih parah lagi menggunakan margin.

Tetapi jika seorang calon investor benar-benar tidak memiliki waktu dalam melakukan analisa saham tetapi ingin berinvestasi di pasar modal bisa menggunakan alternatif investasi di reksa dana. (Baca juga: 'Menabung' di Reksa Dana Pasar Uang: Minim Risiko, Lebih Menarik dari Deposito)