Bareksa.com - Tekanan terhadap Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia muncul lagi, dengan hulu permasalahan yang sama, yaitu kekhawatiran Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga.
Dampak kenaikkan -- atau 'rencana' kenaikkan -- suku bunga acuan The Fed adalah menyedot dana investor global terutama dari negara-negara berkembang yang kemudian mengalir ke Amerika Serikat, karena dengan naiknya suku bunga acuan, maka surat berharga dan instrumen investasi lainnya di AS akan menjadi lebih menarik.
Apakah The Fed benar-benar akan menaikkan suku bunganya? Atau rencana ini hanya layaknya bayangan hantu?
Terlepas dari benar-benar akan naik atau tidak, kenyataannya saat ini adalah bahwa pidato Gubernur The Fed Janet Yellen dua minggu lalu sungguh-sungguh bertuah, karena terbukti dapat mendorong penguatan dolar Amerika, dan saat bersamaan membuat pasar saham di sejumlah negara berkembang (Emerging Market) terkoreksi dengan nilai yang tidak sedikit, termasuk IHSG.
IHSG mengalami koreksi 8,41 persen dalam dua minggu perdagangannya karena keluarnya aliran dana asing.
Tabel Penurunan Indeks Saham Emerging Market
Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa
"Jika ekonomi terus membaik seperti yang saya harapkan, saya pikir akan memungkinkan the federal fund rate untuk dinaikkan secara bertahap dan memulai proses normalisasi kebijakan moneter," ujar Yellen dalam pidatonya seperti dikutip berbagai media pada akhir Mei lalu.
Pidato Yellen ini diucapkan setelah Biro Statistik Tenaga Kerja AS merilis data Core Consumer Price Index (yoy) yang bertahan di level 1,8 persen. Data inflasi ini mendekati ekspektasi The Fed pada level 2 persen, dimana pada level ini the Fed cenderung lebih nyaman untuk menaikkan suku bunga.
Grafik Inflasi Inti Amerika Periode Januari 2011-May 2015
Sumber: Tradingeconomics, diolah Bareksa.com
Suku bunga acuan The Fed sekarang ini berada pada angka sangat rendah, di level 0,25 persen. Level ini terus dipertahankan The Fed hampir tujuh tahun terakhir untuk memacu kembali pertumbuhan ekonomi Amerika.
Akibat rendahnya suku bunga acuan membuat suku bunga antar bank juga kecil sekali. Per Mei 2015 bahkan hanya senilai 0,12 persen.
Spekulasi atas rencana kenaikan Fed Rate yang akan dinaikkan bulan Juni atau bulan September pada tahun ini pun kembali menguat.
Grafik Fed Rate Periode Januari 2007-May 2015
Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa
Grafik Fed Rate Periode Januari 2007-May 2015
Sumber: Federal Reserves Bank of St.Loius, diolah Bareksa.com
Hal ini sontak membuat beberapa pengelola dana (fund manager) asing mulai melepas kepemilikan saham ataupun obligasi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dan mengalihkannya ke pasar obligasi Amerika Serikat.
Ucapan Yellen bagaikan koboi Amerika yang mencabut pistol dari sarungnya, dan setelah itu bukannya menarik pelatuk, tapi hanya 'menggeletakkan' pistol itu diatas meja.
Sementara itu orang-orang disekelilingnya sudah kalang kabut dan kocar-kacir menanggapi aksinya.
Secara gamblang, seorang manajer investasi asing dengan total dana kelolaan di Indonesia lebih dari Rp10 triliun mengatakan bahwa yang dilakukan Yellen dapat memenuhi kualifikasi sebagai tindakan gertak sambal.
"Bank sentral di banyak negara sering kali hanya ngomong secara persuasif tanpa didukung dengan fakta yang benar. But it works," ujar manajer investasi yang tidak bersedia disebut namanya ini.
Melihat ke belakang evolusi komentar Yellen dari waktu ke waktu dapat dirangkum seperti ini: Kita tidak akan naikkan suku bunga; Kita akan naikkan kalau data ekonomi dan forecast mendukung; Kita akan naikkan tapi tidak juga, karena data ekonomi mendukung tapi forecast salah, ekonom selalu salah.
Kepala riset PT Sinarmas Asset Management Jeffersonberg Tan pun menilai penurunan IHSG masih dapat turun lebih dalam hingga kenaikan Fed Rate direalisasikan.
“Bisa turun lagi, sekarang ini belum bottom. Penurunan akan berlangsung cukup lama, sampai rencana The Fed terjadi,” ucapnya seperti dikutip koran Bisnis Indonesia.
Pada hari Rabu (9 Juni 2014), aksi jual bersih investor asing mencapai Rp1,02 triliun. Sejak awal tahun sampai sekarang, total jual bersih investor asing tercatat sebesar Rp 10,71 triliun.
Kecurigaan 'gertak sambal' Yellen tidak bisa dikatakan tanpa alasan. Karena untuk menaikkan suku bunga, The Fed tidak hanya harus mengamati data inflasi saja tetapi juga data jumlah pengangguran (unemployment rate) dan pertumbuhan ekonomi AS. Kenyataannya data-data ini belum menunjukkan angka yang cukup mendukung untuk dilakukannya penaikkan suku bunga.
Untuk data pengangguran, nilainya memang terus mengalami perbaikan, tapi belum memadai. Pada bulan Mei 2015 saja, data pengangguran AS terjaga di level 5,5 persen. Angka ini telah turun dari 6,3 persen di bulan Mei tahun lalu.
Data pengangguran ini merupakan salah satu indikator yang penting untuk mengukur perbaikan ekonomi jangka panjang, meski datanya cenderung terlambat (lagging).
Grafik Level Pengangguran AS Januari 2011-May 2015
Sumber: Tradingeconomics, diolah Bareksa.com
Namun, The Fed sebenarnya menargetkan level pengangguran di AS dapat turun menjadi di bawah 5 persen sebelum menaikkan Fed Rate. Pernyataan ini pernah disampaikan Yellen secara tersirat beberapa waktu lalu.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi AS yang diharapkan dapat tumbuh 2,8 persen sebelum Fed Rate dinaikkan juga belum tercapai. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2015 baru mencapai 2,7 persen.
Grafik Pertumbuhan Ekonomi AS Periode 2011-Kuartal I-2015
Sumber: Tradingeconomics, diolah Bareksa.com
Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde dalam laporan IMF tertanggal 4 Juni mendesak The Fed untuk menunda kenaikan Fed Rate hingga tahun depan sampai indikator ekonomi AS benar-benar menunjukkan perbaikan.
Alasannya, kenaikan suku bunga AS ini akan menyebabkan gangguan nilai pasar.
“Berdasarkan proyeksi makroekonomi dan potensi pertumbuhan serta tingkat inflasi AS, The Fed sebaiknya menunda kenaikan suku bunganya hingga semester I-2016,” tuturnya dalam laporan IMF.
Dengan pertimbangan saran dari IMF ini dan data-data ekonomi AS yang belum menunjukkan signal kuat, apakah artinya The Fed akan mengakhiri aksi tarik-pistol-gertak-sambalnya? Belum tentu.
Mari kita coba berada dalam posisi sebagai The Fed.
Agar ekonomi dapat tumbuh, suku bunga harus rendah. Sedangkan suku bunga acuan The Fed saat ini sudah dalam posisi terendah 0,25 persen, jadi sulit bagi The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan. Pemerintah juga tidak bisa terus menerus memberikan stimulus.
Jadi bagaimana caranya menumbuhkan ekonomi tanpa harus menurunkan suku bunga?
Kalau kita bisa membuat orang berfikir kita akan menaikkan suku bunga, tetapi terus kita tidak menaikkan, ini sama saja dengan menurunkan suku bunga. (np)