Bareksa.com – Presiden Joko Widodo mengumumkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Premium naik 31 persen menjadi Rp8.500 per liter dan solar naik 36 persen menjadi Rp7.500 per liter sedangkan harga minyak tanah tetap Rp2.500 per liter pada jam 09.15 WIB, Senin 17 November 2014.
Kenaikan harga ini berlaku sejak 18 November 2014, jam 00.00 WIB.
"Negara memerlukan anggaran untuk membangun infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Tapi anggaran tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM," ujar Presiden Jokowi.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan akan ada penghematan Rp100 triliun tahun depan yang dapat digunakan untuk pengeluaran produktif.
Selama ini, harga BBM bersubsidi berada di bawah harga keekonomian. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan harga keekonomian BBM jenis Premium tanpa subsidi, dengan asumsi harga minyak mentah dunia $80 per barel, adalah pada level sedikit di atas Rp9.000 per liter. (Baca juga: Menkeu: Harga BBM Bersubsidi Akan Naik ke Level Sedikit di Bawah Harga Ekonomis)
Bagaimana impak dari kenaikan harga BBM ini?
"Dalam jangka pendek kita akan melihat harga-harga bahan baku meningkat, perusahaan tidak bisa ekspansi, sementara daya beli konsumen turun. Ini semua akan memberatkan," ujar Wahyu Trenggono, Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) kepada Bareksa.com. "Tetapi, dalam jangka menengah -- dua sampai tiga tahun -- dampak positifnya baru akan terasa."
Tirta Segara, Direktur Eksekutif Bank Indonesia (BI), kepada Bareksa.com mengatakan lonjakan harga yang terjadi biasanya hanya tiga bulan setelah harga dinaikkan. "Biasa naik sampai 3 bulan kemudian semua menyesuaikan. Setelah itu mereda dan datar."
Presiden Jokowi juga menyampaikan pemerintah telah menyiapkan perlindungan bagi rakyat kecil melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (
Bambang Brodjonegoro menyampaikan dampak kenaikan BBM kali ini akan menambah inflasi berkisar 2 persen, sehingga sampai akhir tahun target inflasi naik menjadi sekitar 7,3 persen.
Analis Obligasi PT Succorinvest, Ariawan, memperhitungkan tanpa adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, inflasi pada akhir tahun berkisar 5,1 persen.
“Jadi, jika dinaikkan Rp2.000 per liter dalam perhitungan saya hanya menambah inflasi 2,4 persen, inflasi akhir tahun hanya berkisar 7,5 persen. Ini positif karena pertama kalinya efek kenaikan BBM terhadap inflasi di bawah 8 persen,” ujar Ari kepada Bareksa.com.
Berdasarkan data Bareksa.com, kenaikan harga BBM bersubsidi dalam jangka menengah justru cenderung mendorong penurunan laju inflasi. (Baca: Harga BBM Naik, Inflasi Justru Turun dalam Jangka Menengah: Data Bareksa)
Jika kita amati garis oranye pada grafik di bawah ini, angka inflasi melonjak beberapa bulan setelah kenaikan harga BBM, dan kemudian kembali turun -- malahan lebih rendah dari angka inflasi pada bulan di saat harga BBM bersubsidi dinaikkan.
Namun, Tirta mengingatkan, menurunnya angka inflasi itu bukan berarti harga-harga ikut turun; melainkan harga tidak mengalami kenaikan kembali.
Grafik: Inflasi Periode 2004-2014
Sumber: Bareksa.com
Lantas bagaimana dampaknya terhadap rupiah?
Berdasarkan data historis Bareksa.com, kenaikan harga BBM dalam jangka menengah juga dapat mendorong penguatan rupiah. (Baca juga: Harga BBM Naik, pada Jangka Menengah Rupiah Justru Menguat: Data Bareksa)
Pada empat kali kenaikan harga BBM bersubsidi ada dua periode yang menunjukkan kecenderungan itu, yakni pada Oktober 2005 dan Mei 2008.
Namun, pada kenaikan Juni 2013, rupiah melemah hingga 10,67 persen menjadi Rp11.018 per dolar dalam jangka waktu dua bulan akibat adanya faktor defisit transaksi berjalan. "Kenaikan harga BBM bersubsidi ternyata tidak cukup untuk menekan konsumsi BBM saat itu, sehingga impor minyak masih tinggi dan menyebabkan defisit transaksi berjalan masih tinggi," kata Juniman, Chief Economist BII kepada Bareksa.com. (kd, qs)