Bareksa.com – Harga saham masih cenderung melemah, tercermin dari data IHSG sejak 11 Juni 2014 hingga penutupan kemarin 19 Juni 2014 turun 2,2 persen hingga ke level 4.864,27. Sejumlah faktor menjadi penghambat kenaikan IHSG, salah satunya adalah sentimen dari The Fed.
Sebelumnya The Fed mengumumkan akan mengurangi pembelian obligasi Amerika (tapering) menjadi USD 35 Miliar dan mempercepat kenaikan suku bunga Fed Rate.
Risiko eksternal terkait The Fed menjadi perhatian utama investor, mengapa?
Sejak Amerika mengalami krisis, dalam penanggulangan krisis tersebut, bank sentral Amerika, The Fed menggelontorkan sejumlah dana untuk meningkatkan perekonomian diantaranya dengan mengeluarkan kebijakan Quantitive Easing (QE), yakni kebijakan stimulus ekonomi dengan melakukan pembelian obligasi Amerika. The Fed juga menurunkan suku bunga acuan hingga 0-0,25 persen.
Kebijakan tersebut berimbas pada negara-negara emerging market yakni negara-negara di Asia, yang menerima aliran dana tersebut, berimbas pada peningkatan jumlah arus dana investor asing ke pasar saham dan obligasi.
Jika dilihat pergerakan IHSG sepanjang aksi The Fed tersebut, IHSG terus melaju naik hampir 5 kali lipat dari level 1.050-1.440 pada tahun 2009 hingga sempat berada pada level 5.200 di tahun 2013. Berdasarkan data Bareksa.com, arus dana asing yang masuk dalam periode tersebut kurang lebih Rp80 triliun.
Banyak yang mengkhawatirkan dampak dari percepatan peningkatan suku bunga Fed rate dan pemangkasan stimulus (tapering) akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia dan memicu pelebaran defisit neraca berjalan serta peningkatan yield obligasi.
"Skenario terburuk dalam jangka pendek memang akan menyebabkan keluarnya dana asing. Tetapi kita perlu melihat dampak yang sangat positif dalam jangka panjang" ungkap Marolop Nainggolan, analis PT Koneksi Kapital.
Marolop menjelaskan langkah yang dilakukan the Fed menunjukan percepatan pemulihan ekonomi, sehingga akan meningkatkan transaksi perdagangan dunia. Dengan meningkatnya permintaan dari Amerika dan Eropa, dapat membuat ekspor Indonesia kembali meningkat dan neraca perdagangan kembali positif.
Yang perlu diperhatikan Indonesia adalah support dalam kebijakan fiskal, seperti pengurangan subsidi dan penambahan insentif agar investor dapat berinvestasi langsung membangun pabrik di Indonesia. Jika hal itu dilakukan maka country risk Indonesia akan menurun dan dapat membuat investor kembali ke pasar modal, menurut Marolop.
Analisa senada disampaikan Djoko Rahardjo, senior advisor PT D'Origin Advisory
"Memang ada sisi negatif, yakni keluarnya dana asing menyebabkan penguatan nilai tukar dolar Amerika, tetapi positifnya ini akan menciptakan pasar baru" ucap Djoko dalam wawancaranya kepada Bareksa.com
Pertumbuhan ekonomi Amerika sangat diharapkan karena mendorong serapan produksi. Restrukturisasi yang dilakukan Amerika akan menciptakan pasar baru dimana sejak krisis Amerika, ekspor jadi tertuju ke negara Asia seperti China dan India. Dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi maka Amerika dan Eropa dapat kembali menjadi sasaran ekspor, ungkap Djoko.
Dengan pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan permintaan dari Amerika dan Eropa akan memberikan insentif bagi ekspor sehingga membuat fundamental ekonomi Indonesia membaik. (NP)
Tabel Aksi The Fed Mengenai Kebijakan Stimulus dan Pelonggaran Suku Bunga
Sumber: bareksa.com
Grafik Perbandingan IHSG dengan Aliran Dana Asing Sepanjang Periode 2009-2014
Sumber: Bareksa.com