Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Selasa, 1 September 2020 :
Harga Emas
Harga emas mendapatkan momentum penguatan seiring dengan prospek perlambatan ekonomi negara terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat, dan terus bertambahnya korban akibat virus. Pada perdagangan Senin (31/8/2020) pukul 06.31 WIB, harga emas spot naik 0,51 persen atau 10,02 poin menjadi US$1.974,85 per troy ounce.
Dilansir Bisnis.com, harga emas Comex kontrak Desember 2020 meningkat 0,28 persen atau 5,5 poin menuju US$1.980,4 per troy ounce. Indeks dolar AS koreksi 0,09 persen ke level 92,287. Laporan Monex Investindo Futures menyebutkan harga emas bergerak sejak akhir pekan lalu di tengah kembali munculnya kekhawatiran pasar akan kejatuhan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus Covid-19.
Hal itu terjadi meskipun adanya lonjakan yield Treasury AS setelah Gubernur Federal Reserve Jerome Powell tawarkan lebih banyak tolerasi terhadap inflasi. Strategi kebijakan moneter terbaru dari The Fed adalah mereka berjanji untuk mengatasi kekurangan dari target inflasi berbasis luas dan inklusif dari sektor tenaga kerja penuh waktu. The Fed juga menjanjikan untuk membidik inflasi rata-rata di level 2 persen.
Obligasi AS jangka panjang naik ke level tertinggi dalam beberapa bulan pada hari Kamis. Obligasi AS yang lebih tinggi akan meningkatkan beban pemilik emas yang merupakan aset non imbal hasil.
Di dalam negeri, harga emas 24 karat Antam keluaran Logam Mulia PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) naik Rp 3.000 per gram pada Senin (31/8). Mengutip situs Logam Mulia, harga pecahan 1 gram emas Antam pada Senin (31/8) berada di Rp1.030.000 per gram. Harga emas Antam ini naik Rp3.000 per gram dari harga Minggu (30/8) di Rp1.027.000.
Adapun harga pembelian kembali atau buyback emas Antam menjadi Rp 931.000 per gram. Dilansir Kontan, jika ditinjau dari 7 hari lalu (24 Agustus 2020), harga emas Antam ini naik Rp7.000 per gram dari harga sebelumnya Rp1.023.000. Di Butik Emas Logam Mulia - Pulo Gadung, Jakarta, harga emas ukuran 0,5 gram adalah Rp545.000. Adapun harga emas ukuran 2 gram dan 5 gram, masing-masing Rp2.000.000 dan Rp4.930.000.
SBN
Harga obligasi pemerintah bergerak variatif pada perdagangan Senin (31/8/2020), seiring dengan masuknya investor global di tengah rekor baru penderita Covid-19 di Indonesia. Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 1 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun mencatat kenaikan yield (imbal hasil), sedangkan tenor 5 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun membukukan penurunan yield. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya.
Dilansir CNBC Indonesia, kenaikan yield tertinggi dicatatkan SBN tenor 1 tahun yang sebesar 5 basis poin ke 3,998 persen. Sebaliknya, pelemahan yield terbesar terjadi pada SBN bertenor 5 tahun sebesar 0,7 basis poin ke 5,56 persen. Satu basis poin setara dengan 1/100 dari 1 persen. Koreksi harga SBN terjadi di tengah catatan lonjakan kasus positif Covid-19. Indonesia berada di peringkat 12 dunia dengan kasus baru terbanyak dalam sehari, yakni 2.858 kasus pada Minggu. India di posisi terburuk dengan 79.457 kasus baru, mengalahkan AS (30.490 kasus baru).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini merupakan perpanjangan kelima sejak awal Juli 2020. Perpanjangan tersebut mengaburkan ekspektasi bahwa ekonomi nasional bakal pulih lebih cepat. Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, pertumbuhan ekonomi di RI mustahil untuk bisa tumbuh, jika penanganan Covid-19 belum bisa tertangani dengan baik. Melihat kasus penularan kasus Covid-19 terus melonjak menyentuh 2.000-3.000 dalam waktu 24 jam.
Namun di sisi lain, Bank Indonesia (BI) merilis uang beredar M2 pada Juli tumbuh dengan laju lebih cepat dibandingkan dengan posisi Juni, menyusul aksi beli investor asing. Menurut data BI sepekan lalu terdapat aliran modal asing yang masuk ke pasar obligasi senilai US$128 juta. Kombinasi kondisi tersebut membuat pasar obligasi bergerak variatif cenderung melemah, dengan kenaikan imbal hasil SBN bertenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar 0,7 basis poin ke 6,864 persen.
IHSG
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun ke zona merah pada sesi kedua perdagangan Senin (31/8/2020). Dilansir Bisnis.com, IHSG awalnya dibuka stagnan di level 5.346,65 pada perdagangan Senin (31/8/2020). Laju indeks hanya mampu menyentuh level resistance 5.369,447, sebelum akhirnya terjerembab ke zona merah. IHSG kemudian mencoba keluar dari zona merah namun tidak berhasil hingga akhir sesi pertama. Koreksi semakin parah di sesi kedua perdagangan.
Data Bloomberg menunjukkan indeks sempat amblas 2,03 persen ke level 5.234,587 pada sesi kedua. Pergerakan IHSG terkoreksi 2,02 persen ke leve Rp5.238,49 akhir perdagangan Agustus 2020. Sebanyak 109 saham menguat, 328 terkoreksi, dan 261 stagnan. Tiga bank berkapitalisasi pasar jumbo PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menjadi top laggards IHSG dengan koreksi masing-masing 4,34 persen, 2,23 persen dan 3,61 persen.
“Ada MSCI rebalancing hari ini,” ujar Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo saat ditanya mengenai penyebab koreksi IHSG pada Senin (31/8/2020).
Sebelumnya, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee memprediksi IHSG berpeluang cenderung melemah setelah penguatan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Pihaknya memproyeksikan IHSG akan bergerak dengan support di level 5.324 sampai 5.218 dan resistance 5.400 sampai 5.450. Sementara itu, aksi jual investor asing cukup dalam. Net sell mencapai Rp1,92 triliun, di mana BBRI mengalami net sell paling besar yakni Rp446,6 miliar.
Rupiah
Nilai tukar rupiah berhasil ditutup di zona hijau selama perdagangan Agustus 2020. Potensi penguatan diperkirakan berlanjut pada September 2020. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menutup hari perdagangan terakhir Agustus, Senin (31/8/2020), di posisi Rp14.563 per dolar AS, terapresiasi 0,47 persen atau 70 poin.
Dilansir Bisnis.com, nilai tukar rupiah berhasil bergerak menguat 0,25 persen terhadap dolar AS sepanjang Agustus 2020, kendati sempat turun ke level Rp14.845 per dolar AS pada pertengahan bulan. Kinerja itu menjadi penguatan pertama rupiah di bulan Agustus sejak 2003. Pasalnya, secara historikal, rupiah selalu terkoreksi selama Agustus seiring dengan kebutuhan dolar AS yang meningkat untuk pembayaran dividen.
Kendati demikian, di antara mata uang negara berkembang di Asia lainnya, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk ketiga tepat di atas rupee yang hanya menguat 0,003 persen, dan dolar Taiwan yang terkoreksi 0,099 persen.
Kepala Riset Kawasan Asia di Australia & New Zealand Banking Group Ltd. Singapura Khoon Goh mengatakan rupiah berhasil menyesuaikan pelemahan musiman selama paruh pertama Agustus dan berbalik menguat di akhir bulan ini berkat pelemahan dolar AS yang cukup signifikan. Pelemahan dolar AS itu dipicu pidato bernada dovish dari Ketua The Fed, Jerome Powell, yang memberikan sinyal untuk mempertahankan suku bunga di tingkat yang rendah dalam jangka waktu yang lama.
“Rupiah mungkin dapat memperpanjang kenaikan dalam beberapa bulan mendatang tetapi masih menghadapi banyak hambatan. Arus keluar asing yang dipicu oleh pandemi Covid-19 telah melambat, tetapi belum diganti dengan arus masuk yang signifikan,” ujar Goh.
Kendati demikian, masih terdapat kekhawatiran pasar tentang rencana monetisasi utang bank sentral, sehingga pihaknya memangkas perkiraan akhir tahun untuk rupiah menjadi Rp14.300 per dolar AS dari estimasi sebelumnya Rp13.950 per dolar AS.
Sementara itu,Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa fokus utama pasar pada perdagangan September akan tertuju pada perkembangan perundingan dagang antara AS dan China serta vaksin Covid-19. Sebab data-data ekonomi dalam negeri diprediksi masih akan mendukung rupiah untuk bergerak menguat. Neraca dagang diprediksi masih akan surplus, sedangkan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia juga diyakini masih di tingkat rendah sehingga menjadi katalis positif bagi nilai tukar.
“Sepanjang September rupiah diprediksi masih bergerak di kisaran tipis antara Rp14.500 per dolar AS hingga Rp14.700. Sentimen negatif dan positif masih akan tarik-menarik dengan dua fokus utama pasar perkembangan Covid-19 di dalam negeri dan perundingan dagang,” ujar Josua Senin (31/8/2020).
Dia menjelaskan pasar berharap dengan banyaknya stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah dan BI serta harapan stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) dapat memiliki progres lebih cepat bisa menjadi sinyal positif untuk membatasi pelemahan rupiah tidak menembus ke atas Rp14.700 per dolar AS
Reksadana
Tren positif pada kinerja reksadana selama lima bulan berturut-turut membuat instrumen investasi kolektif ini masih prospektif untuk menjadi alternatif investasi. Berdasarkan data Infovesta Utama per 28 Agustus 2020, seluruh jenis reksa dana kompak mencatatkan hasil positif setiap bulan sejak April 2020 hingga Agustus 2020. Adapun, reksadana saham memimpin dengan imbal hasil tertinggi.
“Ini menunjukkan bahwa investasi reksadana masih dapat dijadikan alternatif investasi yang menarik dan cukup prospektif di tengah kekhawatiran kondisi ekonomi di Indonesia,” demikian tulis tim riset Infovesta dalam publikasinya, Senin (31/8/2020) dilansir Bisnis.com.
Infovesta menyatakan kinerja reksadana saham yang digambarkan dalam Infovesta 90 Equity Fund Index serta rd campuran yang diilustrasikan dalam Infovesta 90 Balanced Fund Index didukung oleh penguatan kinerja IHSG. “Hal ini dikarenakan pasar saham dalam negeri masih didukung oleh investor ritel walaupun pihak asing masih melakukan capital outflow terlihat dari data net foreign sell sebulan terakhir yang mencapai Rp6,97 T,” tambah Infovesta.
Di sisi lain, proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada kuartal III 2020 masih tertekan khususnya Indonesia yang diperkirakan akan masuk ke dalam jurang resesi pada akhir bulan depan. Tak hanya itu, angka kasus Covid-19 yang masih meningkat di Indonesia, Pilpres Amerika Serikat di bulan November mendatang, serta kondisi ekonomi global lainnya masih menjadi faktor pertimbangan investor dalam investasi instrumen berbasis saham.
Sementara itu, kinerja reksadana pendapatan tetap juga didukung oleh penguatan kinerja IGBI dan ICBI, terutama oleh obligasi pemerintah. Kinerja reksa dana pendapatan tetap hingga Agustus 2020 juga masih didukung oleh investor lokal. Akan tetapi, Infovesta memproyeksikan terjadi penguatan lebih lanjut pada produk investasi berbasis pendapatan tetap karena pihak asing yang sudah mulai masuk ke dalam investasi pasar obligasi Indonesia.
Hal tersebut ditunjukkan melalui angka kepemilikan SBN oleh pihak asing selama satu minggu terakhir per 27 Agustus 2020 tercatat naik dari yang semula sebesar Rp4 triliun menjadi Rp940 triliun. Pun, didukung dengan penurunan persepsi risiko asing yang terlihat pada CDS 5 Years Indonesia yang sudah menyentuh dibawah level 100 yaitu di level 96,92. Selain itu, The Fed juga menargetkan angka inflasi yang lebih agresif di 2 persen.
“Hal ini diharapkan dapat memberikan sentimen positif ke dalam pasar saham maupun obligasi di Indonesia. Dimana level tingkat suku bunga di Indonesia diharapkan masih dipertahankan di level rendah hingga akhir tahun 2020,” tutur Infovesta.
Dengan demikian, untuk investor yang lebih agresif, dapat secara perlahan melakukan akumulasi portfolio pada reksadana saham karena reksadana saham masih berpotensi naik seiring dengan ekspektasi pemulihan ekonomi yang didukung dengan pembukaan kembali ekonomi serta pemulihan indeks PMI Manufaktur. Adapun, untuk investor yang memiliki profil risiko balanced dapat membagi proporsi portfolio antara reksadana saham maupun reksadana pendapatan tetap yang didukung dengan tingkat suku bunga rendah dan peningkatan arus masuk investor asing ke pasar obligasi di Indonesia hingga akhir tahun 2020.
(*)