Bareksa.com - Berikut sejumlah berita dan informasi terkait investasi dan ekonomi yang disarikan dari sejumlah media dan keterbukaan informasi, Senin 20 Juli 2020.
Harga Emas
Harga logam mulia yang diproduksi oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau emas Antam mengalami kenaikan seiring dengan apresiasi harga emas global dalam sepekan terakhir.
Data harga Logam Mulia di gerai Jakarta Gedung Antam di situs loga mmulia milik Antam pada Sabtu lalu (18/7/2020) pukul 08.30 WIB, harga tiap gram emas Antam naik 1,4 persen atau Rp12.000 dibanding posisi Jumat ke level Rp898.120 per gram.
Pada Jumat (17/7), harga emas Antam acuan kepingan 100 gram ini dihargai Rp886.120 per gram, turun Rp5.000 dari harga sehari sebelumnya.
Dengan demikian, jika dibandingkan dengan Sabtu sepekan sebelumnya (11/7) saat harga emas di level Rp872.120 per gram, maka harga emas pada Sabtu (87/7) di level Rp898.120per gram itu melesat Rp26.000 per gram, atau naik 2,98 persen.
Harga emas Antam pernah mencapai level di atas Rp900.000/ per gram, tepatnya Rp903.000 per gram pada Senin (13/4/2020) untuk harga acuan 100 gram, kendati langsung turun keesokan harinya (Selasa, 14/4) di level Rp899.000 per gram. Pada 14 April itu, khusus harga emas Antam 1 gram juga tembus Rp948.000 per gram.
Di sisi lain, harga beli kembali (buyback) emas Antam pada Sabtu pekan lalu naik Rp14.000 dan ditetapkan pada Rp858.000 per gram. Harga itu menunjukkan harga beli yang harus dibayar Antam jika pemilik batang emas bersertifikat ingin menjual kembali investasi tersebut.
Harga dan ketersediaan emas di tiap gerai bisa berbeda. Harga emas tersebut akan dikenakan biaya PPh 22 (Pajak Penghasilan Pasal 22 atas emas batangan). Sesuai dengan PMK No 34/PMK.10/2017, pembelian emas batangan dikenakan PPh 22 sebesar 0,45 persen (untuk pemegang NPWP dan 0,9 persen untuk non NPWP).
Kenaikan harga emas dunia dipicu oleh peningkatan jumlah kasus infeksi Covid-19 secara global. Total penderita penyakit mematikan tersebut kini sudah mencapai angka 14 juta. Lebih dari 600.000 orang terenggut nyawanya.
Dalam sehari, Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia melaporkan ada tambahan lebih dari 77.000 kasus dalam 24 jam. Ini merupakan rekor tertinggi baru AS sejak pandemi merebak.
Pelaku pasar khawatir jika lockdown secara masif akan kembali diberlakukan. Pasalnya jika mobilitas kembali dibatasi maka ekonomi akan tertekan. Namun di sisi lain tak ada yang bisa meramal kapan wabah akan berakhir.
Risiko ketidakpastian yang tinggi ini membuat investor mencari suaka. Emas yang dikenal sebagai aset minim risiko (safe haven) dilirik oleh banyak investor sebagai aset untuk diversifikasi.
"Suku bunga riil negatif, menggelembungkan neraca bank sentral, dolar AS yang lebih lemah dan kasus Covid-19 yang terus meningkat meningkatkan daya tarik logam mulia sebagai aset safe-haven," kata ahli strategi komoditas ANZ Soni Kumari seperti dilansir CNBC Indonesia, Senin (20/7/2020).
Dalam sepekan terakhir, harga emas mengalami penguatan 0,59 persen. Ini sekaligus menandai penguatan beruntun minggu keenam bagi logam mulia tersebut.
Pada perdagangan spot pada Jumat lalu (17/7/2020) harga emas dipatok di US$1.808,9 per troy ons. Kenaikan tak terbendung harga emas dipicu oleh risiko ketidakpastian global yang meningkat.
Diego Parrilla yang memimpin Quadriga Igneo Fund memprediksi emas akan mencapai US$3.000 per troy ons dalam 3 sampai 5 tahun. Parrilla memberikan prediksi tersebut saat diwawancara oleh Bloomberg di pekan ini yang dikutip Kitco.
Sukuk
Sejumlah kalangan memperkirakan lelang surat berharga syariah negara (SBSN) atau suku negara masih akan didominasi investor domestik. Investor asing disebut masih belum percaya diri untuk terjun ke pasar surat utang seiring dengan lonjakan kasus positif virus corona (Covid-19).
Lelang sukuk negara akan kemali digelar pada esok, Selasa (21/7/2020) dengan target indikatif Rp8 triliun. Ada lima seri sukuk negara yang akan dilelang, yaitu satu seri SPN-S (Surat Perbendaharaan Negara - Syariah) dan empat seri PBS (Project Based Sukuk).
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto memperkirakan lelang sukuk negara esok tidak akan ramai seperti lelang-lelang sebelumnya. Lonjakan kasus positif Covid-19 secara global dan juga dalam lingkup domestik membuat investor tidak yakin untuk mengoleksi surat utang negara berkembang.
Untuk diketahui, angka positif virus corona di Indonesia telah mencapai 84.882 kasus, melampaui China, negara asal penyebaran virus. "Investor asing kemungkinan akan lebih wait and see atau menahan diri. Pasar domestik masih menjadi penopang pada lelang mendatang," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (19/7/2020).
Ketidakpastian akibat sentimen kasus positif Covid-19 diperkirakan membuat jumlah penawaran yang masuk tidak akan sebesar dua lelang sukuk sebelumnya. Pada lelang sukuk 23 Juni 2020 dan 7 Juli 2020 lalu, pemerintah berhasil meraih angka penawaran masing-masing sebanyak Rp38,84 triliun dan Rp41,6 triliun.
Selain itu, Ramdhan memperkirakan sukuk dengan tenor pendek hingga menengah masih akan menjadi incaran para investor. Hal ini karena sukuk dengan jatuh tempo 2 hingga 4 tahun memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tenor panjang.
"Dengan sentimen pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia seharusnya dapat sedikit meningkatkan jumlah penawaran pada lelang. Tetapi, kemungkinan yang akan masuk akan berada di kisaran Rp20 triliun," ujarnya.
Utang Negara
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab kritik publik terkait pengelolaan utang pemerintah. Dia meminta masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap proporsi utang Indonesia. Bisa dikatakan, lanjut dia, tak ada satu pun negara di dunia yang tak memiliki utang.
Pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, tak terkecuali negara-negara Islam. "Kalau teman-teman yang suka pakai negara Islam. Semua negara Islam di dunia, semua berutang. Mau Saudi, UAE, Qatar, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Kazakhstan, you name it," tegas Sri Mulyani dalam live Instagram, seperti dikutip Minggu (19/7/2020).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan, utang sangat diperlukan untuk membiayai belanja pemerintah. Kebijakan utang bisa dikontrol dengan tetap menjaga rasio dengan PDB.
"Bahkan saya tahu waktu di Bank Dunia, negara Islam terutama yang di Afrika mayoritas miskin banget. Dan mereka dapat utang, bahkan diberikan hibah," ucap Sri Mulyani. Dia berujar, sebagian masyarakat di Indonesia masih sangat sensitif dengan kebijakan utang yang terkadang jadi perdebatan panas.
"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga. Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," kata Sri Mulyani.
Alasan utama mengapa negara berutang yakni untuk mengejar ketertinggal infrastruktur, lalu kedua utang diperuntukkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. "Kalau begitu kita perlu utang? Ya utangnya untuk apa dulu. Kalau untuk membuat infrastruktur kita baik (utang produktif), supaya anak-anak bisa sekolah dan tidak menjadi generasi yang hilang, ya tidak ada masalah," tutur Sri Mulyani.
Saat ini, menurut Kementerian Keuangan, pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif di mana belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.
Menurut pemerintah, ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas bisa menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi yang harus ditanggung masyarakat, kondisi ini membuat daya saing Indonesia menjadi rendah. "Itu pilihan kebijakan. Kalau enggak utang, berarti kita menunda kebutuhan infrastruktur. Masalah pendidikan, masalah kesehatan, mungkin tertunda. Jadi negara kita warganya banyak, tapi anak-anaknya bisa rentan," sebut Sri Mulyani.
Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial. Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara tetangga.
Untuk itu, pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar menjadi prioritas utama guna menciptakan kualitas SDM Indonesia yang produktif dan kompetitif. Mengutip data United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2015, IPM Indonesia yaitu 0,689, atau masih di bawah Malaysia, Thailand, dan Singapura. Indonesia masih berada di atas Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar US$404,7 miliar atau sekitar Rp5.868 triliun (kurs Rp 15.000). Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar US$194,9 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$209,9 miliar.
Redenominasi
Rencana penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi kembali digulirkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024. Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, menyambut baik wacana redenominasi tersebut.
Jika kebijakan redenominasi diterapkan di Indonesia dalam waktu yang tepat, bisa meningkatkan citra mata uang Indonesia di mata uang negara lain, dan memberikan dampak positif lainnya.
"Suatu hal penting dalam meningkatkan citra di mata uang negara-negara lain, khususnya dolar AS. Maka tentu saja akan meningkatkan kredibilitas mata uang kita di negara-negara luar, juga berpengaruh untuk investasi dan sebagainya," kata Tauhid kepada Liputan6.com, Minggu (19/7/2020).
Menurutnya, dengan redenominasi pastinya kondisi nilai tukar Indonesia akan relatif stabil karena perbandingannya setara, misal US$1 menjadi Rp 15. Dari sebelumnya USD 1 = Rp15.000, ia menilai sangat jauh sekali perbandingannya.
Keuntungan lainnya yang didapatkan jika menerapkan redenominasi, yakni memudahkan dalam transaksi keuangan dengan nilai redenominasi, misal Rp1.000 menjadi Rp 1 akan memudahkan transaksi keuangan.
Kendati begitu, Tauhid menyebut ada sisi negatifnya, akan merugikan masyarakat, apabila penerapan redenominasi ini tidak dipersiapkan dengan matang.
"Satu produk dulunya dijual dengan harga Rp14.000, bisa saja nanti angkanya menjadi Rp14.500 pembulatannya menjadi Rp 14, tapi ada mata uang nanti yang harus diterbitkan yaitu mata uang pecahan Rp0,5 dan sebagainya," jelasnya.
Itulah alasan jika tidak dipersiapkan pecahan rupiahnya maka redenominasi itu akan merugikan masyarakat, jika memang akan dikurangi tanpa ada perencanaan yang matang, maka tentu saja harga akan bergejolak, dan perlu ada kejelasan dari perencanaan redenominasi tersebut.
"Menurut saya bisa diterapkan namun memang harus ada persiapan yang matang, tentu saja di sektor keuangan dan perbankan itu clear masing-masing harus punya persiapan, karena semua akan redenominasi dan nanti nilainya akan berkurang dan itu harus di konversi dan sebagainya," pungkasnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memotong jumlah nol dalam rupiah atau redenominasi. Penyederhanaaan rupiah ini tersebut akan tertuang melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi).
Langkah redenominasi tersebut merupakan satu dari 19 regulasi dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2020-2024. Renstra ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 tahun 2020.
Urgensi pembentukan RUU Redenominasi tersebut berkaitan dengan penciptaan efisiensi perekonomian, berupa percepatan waktu transaksi serta berkurangnya risiko human error, efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah dan digit rupiah.
"Menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah," demikian dikutip liputan6.com dari dokumen PMK 77/2020, pada Jumat 10 Juli 2020.
Dalam matriks 19 regulasi yang termasuk dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024, Kemenkeu menjelaskan bahwa RUU Redenominasi akan berada di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Pembendaharaan (DJPb) dan akan dibantu dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit terkait.
Lantas, sebenarnya apa redenominasi? Mengapa redenominasi dilakukan dan apakah nominal mata uang Indonesia akan berubah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1? Redenominasi adalah penyederhanaan nilai rupiah yang jika dilakukan bakal memudahkan transaksi di masyarakat dan penyusunan laporan neraca keuangan perusahaan.
Redenominasi akan memangkas 3 digit nilai rupiah dari belakang. Misalnya, dari Rp1.000 menjadi Rp1, atau dari Rp1.000.000 menjadi Rp1.000.
(hm)