Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Senin, 4 November 2019 :
Harga Gas Industri
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memastikan harga gas industri tidak akan mengalami kenaikan. "Sementara ini saya sampaikan tidak naik," kata Presiden dalam acara diskusi mingguan dengan wartawan kepresidenan di Istana Merdeka Jakarta, Jumat, 1 November 2019 dikutip tempo.co.
Sebelumnya PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berencana menaikkan harga gas per 1 November 2019. Presiden juga memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrief untuk mengecek komponen harga gas sehingga memungkinkan kenaikan harga gas.
"Betul-betul dilihat secara detil yang menyebabkan harganya dari mana. Hitung-hitungannya dari mana? Sumurnya harga sekian kok setelah ke pengguna, ke 'user' kok bisa jadi angkanya setinggi itu?" kata dia.
Berdasarkan Permen ESDM 58/2017, formula penetapan harga gas bumi adalah Harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga.
"Oleh sebab itu penting menurut saya industri-industri yang berhubungan dengan gas itu mendekati sumur-sumur gas yang ada, biar tidak terlalu jauh, ini harus kita desain lagi kawasan industri yang khusus membutuhkan gas didekatkan dengan sumur-sumur yang ada," kata Presiden.
Peninjauan ulang komponen harga gas itu dilakukan demi membuat industri Indonesia kompetitif di pasar global.
"Angka (harga gas Indonesia) kalau dilihat oleh industri di negara-negara lain terlalu mahal. Bisa saja harga sewa pipa dari misalnya Dumai menuju ke Jawa apakah harga sewa sambungan-sambungan pipa itu terlalu mahal biayanya, bisa saja dari situ. Karena data yang saya miliki, harga gas di 'onshore' ini masih berada di posisi normal, tapi begitu ditarik di industri, ditarik ke sebuah area-area ekonomi kok jadi mahal ada di mana. Jadi saya suruh cek," ungkap Presiden.
Lembaha Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melakukan evaluasi tingkat bunga penjaminan setelah Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan bunga acuan pada Oktober menjadi 5 persen. LPS tidak mengubah tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah bank umum 6,5 persen, valas 2 persen, dan bunga penjaminan rupiah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 9,5 persen.
Sekretaris LPS Muhamad Yusron mengatakan, tingkat bunga penjaminan tersebut tidak berubah untuk periode 26 September 2019 sampai dengan 24 Januari 2020. Menurut dia, tingkat bunga penjaminan tersebut saat ini dipandang masih sejalan dengan perkembangan suku bunga simpanan bank benchmark yang mulai menurun secara bertahap pasca penurunan suku bunga kebijakan moneter.
"Serta prospek likuiditas perbankan yang relatif membaik. Selanjutnya LPS akan melakukan evaluasi serta penyesuaian terhadap kebijakan tingkat bunga penjaminan sesuai dengan perkembangan suku bunga simpanan dan hasil asesmen atas perkembangan kondisi ekonomi makro, stabilitas sistem keuangan serta likuiditas," jelas Yusron dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11) dikutip investor.id.
Sesuai ketentuan LPS, apabila suku bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpan melebihi tingkat bunga penjaminan simpanan, maka simpanan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin. Dengan demikian, perbankan nasional diharuskan untuk memberitahukan kepada nasabah penyimpan mengenai tingkat bunga penjaminan simpanan yang berlaku.
"Dan maksimum nilai simpanan yang dijamin LPS dengan menempatkan informasi dimaksud pada tempat yang mudah diketahui oleh nasabah penyimpan," lanjut Yusron.
OPEC
Produksi minyak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) rebound pada Oktober dari level terendah 8 tahun, karena Arab Saudi dengan cepat dapat memulihkan diri dari dampak serangan ke unit pengolahan minyak mentah terbesarnya.
Menurut survei Bloomberg dikutip bisnis.com (4/11/2019), data pelacakan kapal, dan perkiraan dari konsultan termasuk Rystad Energy AS, JBC Energy GmbH dan Petro-logistik, sebanyak 14 anggota OPEC memompa rata-rata 29,7 juta barel minyak per hari bulan lalu, atau naik 1,11 juta barel per hari dari September.
Peningkatan produksi OPEC bulan lalu terutama didorong oleh pemulihan 1,23 juta barel per hari produksi di Arab Saudi menjadi 9,88 juta barel per hari. Selain itu, ada peningkatan yang lebih kecil dari Aljazair, Libya, dan Venezuela.
Pada September, serangan terhadap fasilitas energi Arab Saudi untuk sementara waktu mengurangi separuh dari produksi eksportir minyak mentah terbesar dunia itu. Serangan itu juga jadi tanda betapa rapuhnya rantai pasokan global.
Kelompok produsen minyak dan sekutunya, atau yang dikenal sebagai OPEC +, dijadwalkan bertemu pada Desember untuk membahas kemungkinan pemangkasan produksi minyak mereka, guna menopang harga di tengah surplus dan tanda-tanda permintaan yang lebih lemah.
Batu Bara
Konsumen batu bara terbesar dunia, China, diperkirakan akan meningkatkan impor pada tahun ini. Sebagai importir utama komoditas tersebut, Indonesia diperkirakan bakal diuntungkan pulung dari situasi ini, ketimbang Australia.
Zeng Hao, analis di konsultasi Fenwei Energy Information Services mengatakan, pembelian batu bara asing oleh China dalam sembilan bulan pertama telah melaju lebih cepat dari tahun lalu hampir 10 persen.
Situasi ini mengingatkan pada usaha China melawan perubahan iklim. Sebab negara tersebut menyumbang setengah dari produksi dan konsumsi bahan bakar planet ini.
"Beijing harus menyeimbangkan penyediaan panas dan listrik yang terjangkau bagi penduduknya, serta janjinya yang lebih luas membatasi emisi karbon," ujarnya seperti dikutip bisnis.com.
China secara teratur mencoba mengendalikan impor untuk membantu penambang dalam negeri dengan membatasi jumlah batu bara yang bersaing yang berasal dari luar negeri.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang melambat pada tahun ini, sedangkan daya tarik batu bara asing yang lebih murah, kemungkinan akan menjauhkan para pembuat kebijakan untuk mengulangi pembatasan impor pada 2018.
Satgas Waspada Investasi
Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi menemukan 68 pelaku usaha gadai swasta yang tersebar di wilayah Indonesia. Mereka beroperasi secara ilegal tanpa mengantongi izin usaha resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menjelaskan temuan gadai ilegal tersebut terhitung sejak Januari hingga Oktober 2019, berdasarkan laporan satuan pengawas pegadaian di Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK.
Dari jumlah itu, 16 pelaku gadai ilegal berasal dari wilayah Jawa Timur, Bali dan Riau. Jika dirinci, gadai ilegal di Jawa Timur yaitu KSP Citra Abadi Sentosa, Tunas Artha Baru, Pasti Jaya, Pratama Surya Makmur, Sendang Artha Mandiri dan Koperasi Syariah Nuri Jawa Timur.
Sedangkan di Bali, Satgas Waspada Investasi menindak Regina Cell, Pusat Gadai Laptop, Sentral Gadai Laptop, Akuwa Cell, DF Cell, Klarisa Celluler dan Mitra Gadai. Sementara di Riau, terdapat Gadai Siaga, Pusat Gadai Laptop dan Sentral Gadai Laptop.
Sebelum itu telah ditindak gadai ilegal yang beroperasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang hingga Jawa Barat. Pihaknya juga akan memperluas pemantau hingga ke kota-kota lain di Indonesia demi memberikan perlindungan ke masyarakat.
"Kehadiran gadai swasta ini berpotensi merugikan masyarakat karena mereka tidak transparan menentukan hargai gadai serta menerapkan bunga terlalu tinggi. Bayangkan saja, mereka tidak punya jasa penaksir gadai terstandarisasi sehingga nilai gadai jauh lebih rendah dan ini dianggap sebagai penipuan," ujarnya dikutip kontan.co.id (4/11/2019).
Di sisi lain ketidakaan jasa penaksir juga merugikan pelaku gadai. Ditemukan, jasa taksir abal-abal yang menghargai barang jaminan berupa emas palsu tapi dihargai sebagaimana emas asli.
“Kami juga melihat potensi penggelapan barang gadai, padahal dalam aturan tidak boleh barang gadai tapi digadaikan kembali. Apalagi, kalau gadai ilegal bisa saja barang digunakan untuk apa kemudian mereka kabur,” ungkap Tongam.
Bank Indonesia
Aliran modal asing terus membanjiri Indonesia. Hal ini sebagai bentuk keyakinan jika fundamental ekonomi Indonesia cukup baik. "Aliran modal asing sampai 31 Oktober 2019 mencapai Rp217,04 triliun," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Jumat (1/11/2019) dikutip CNBC Indonesia.
Dijelaskan Perry, aliran modal ini masuk ke pasar obligasi hingga Rp165,2 triliun, kemudian pasar saham Rp49,9 triliun dan sebagian kecil ke obligasi korporasi Rp2,06 triliun.
"Lagi-lagi ini mengonfirmasi confidence Indonesia masih cukup baik," terang Perry.
Perry juga mengatakan, nilai tukar rupiah terus bergerak stabil. Menurutnya, pasokan dan permintaan masih terjaga dengan baik. "Terima kasih dunia perbankan dan usaha bisa menjaga rupiah," jelasnya.
Asuransi Umum
Laba bersih industri asuransi umum hingga akhir September 2019 tercatat naik 11,46 persen secara tahunan (year on year/YoY) mencapai Rp4,28 triliun. Nilai tersebut dipengaruhi hasil underwriting yang positif dan efisiensi dari beban usaha.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga kuartal III 2019 pendapatan underwriting naik dengan perolehan Rp27,98 triliun atau tumbuh 18,26 persen (YoY), dari periode sama tahun lalu Rp23,66 triliun.
Adapun beban underwriting naik 21,51 persen (yoy) menjadi Rp17,11 triliun, meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu Rp14,08 triliun. Dengan capaian tersebut, hasil underwriting tumbuh 13,58 persen (yoy) atau mencapai Rp10,87 triliun, dari periode sama tahun lalu Rp9,57 triliun. Sementara jumlah beban usaha Rp8,15 triliun atau turun 5,45 persen (YoY) dari sebelumnya mencapai Rp 8,62 triliun.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengatakan, untuk memperoleh laba lebih maksimal maka pelaku industri asuransi umum harus bisa terus menekan beban usaha atau biaya operasional.
"Tentunya pelaku bisnis harus tetap menjaga biaya operasional agar dapat efisien guna mendapatkan profit," kata Dody dikutip investor.id (2/11/2019).
(*)