OJK : Undang-Undang Fintech Diperlukan untuk Atasi Fintech Ilegal

Bareksa • 22 Jul 2019

an image
Ilustrasi hacker di depan laptop bisnis fintech p2p lending ilegal

Tidak ada bank ilegal, tidak ada asuransi ilegal karena sudah ada undang-undangnya

Bareksa.com – Rancangan Undang-Undang financial technology (RUU fintech) hingga kini masih dalam tahap pengkajian. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan akan menginisiasi RUU fintech dengan sebelumnya berkoordinasi dengan pemerintah.

Dengan kenyataan itu, hingga kini kegiatan bisnis fintech masih mengacu pada payung hukum Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Menanggapi hal itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menyampaikan, RUU fintech merupakan yuridiksi dan inisiasi DPR RI.

“Kalau inisiasinya sudah jalan dan kami diminta beri masukkan maka akan kami bantu,” ujar Hendrikus di Jakarta, Senin, 22 Juli 2019.

Meski begitu, Hendrikus menilai kegiatan bisnis fintech memang perlu diawasi dan dilindungi oleh undang-undang. Hal itu terkait beberapa ruang kosong yang tidak bisa dipenuhi oleh POJK.

Salah satunya, kata Hendrikus, mengenai kehadiran fintech ilegal. “Fintech ilegal tidak bisa kami awasi karena bukan yuridiksi kami. Jika terjadi apa-apa, POJK juga tidak bisa melakukan tidakan pidana,” ujar Hendrikus.

Dia kembali menekankan contoh tidak adanya bank gelap atau asuransi gelap karena telah memiliki undang-undang. Sementara, sampai saat ini banyak fintech gelap atau ilegal karena belum memiliki undang-undang.

Awal Juli 2019, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 140 entitas yang melakukan kegiatan usaha P2P lending namun tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK.

Jumlah P2P lending tidak berizin yang ditemukan Satgas Waspada Investasi pada tahun 2018 sebanyak 404 entitas sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 683 entitas sehingga secara total saat ini yang telah ditangani sebanyak 1.087 entitas.

Di sisi lain, Hendrikus juga menyampaikan pentingnya undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Kehadiran UU PDP tersebut juga akan mengatasi menjamurnya fintech ilegal.

Menurut Hendrikus, masalah utama kehadiran fintech ilegal adalah pencurian data.

“Karena semakin banyak fintech maka akan terjadi penumpukkan data. Orang jahat akan lihat ini peluang untuk disalahgunakan,” ungkap Hendrikus.

Untuk itu, Hendrikus juga berharap UU PDP segera hadir di tengah kehadiran fintech.

(AM)