Bareksa.com - Pemerintah menargetkan tingkat inklusi keuangan 75 persen pada akhir 2019. Apabila dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan 49,8 persen pada 2017, maka pemerintah harus mengisi 16 persen kekosongan tersebut.
Apabila pemerintah hanya mengandalkan lembaga keuangan konvensional untuk mengisi gap tersebut, maka target tersebut akan sulit dicapai. Karena itu, dibutuhkan lembaga keuangan non konvensional berbasis teknologi (financial technology/fintech) yang tidak hanya mengandalkan infrastruktur fisik, namun infrastruktur yang dinamakan teknologi.
Potensi Fintech untuk Inklusi Keuangan
Sumber : Asosiasi FinTech Indonesia
Apakah benar barang baru yang dinamakan fintech tersebut bisa meningkatkan inklusi keuangan atau kehadirannya justru mengancam eksistensi lembaga keuangan yang sudah ada?
Simak penjelasan Ketua Umum Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) Niki Santo Luhur kepada beberapa wartawan termasuk Gita Rossiana dari Bareksa, di Jakarta, Selasa (23/04) berikut ini :
Pemerintah menargetkan tingkat inklusi keuangan 75 persen pada 2019, apa yang bisa dilakukan industri fintech untuk mendukung hal tersebut?
Saat ini, ada 3 juta agen fintech yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan agen institusi keuangan seperti Layanan Keuangan Digital (LKD), Laku Pandai, ATM dan cabang bank yang baru mencapai 1,5 juta agen.
Namun dengan jumlah 4,5 juta agen tersebut belum bisa menjangkau jutaan masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan layanan keuangan. Karena itu, kami mengusulkan untuk bisa menggunakan agen pulsa yang berjumlah kurang lebih 16 juta agen.
Tetapi saat ini hal tersebut sedang dikaji dan kami juga secara pro aktif untuk meninjau ulang kebijakan mengenai agen banking agar bisa menjangkau masyarakat secara nasional dengan jumlah besar.
Sejauh ini, bagaimana kontribusi industri fintech terhadap perekonomian Indonesia?
Sampai Januari 2019, fintech peer to peer lending sudah menyalurkan pembiayaan Rp25,9 triliun, meningkat 251 persen dibandingkan Maret 2018. Pembiayaan tersebut disalurkan kepada 5,16 juta peminjam.
Selain itu, fintech pembayaran juga membukukan pertumbuhan transaksi uang elektronik 73 persen pada Februari 2019 dibandingkan Maret 2018 dengan jumlah uang elektronik yang beredar mencapai 189,2 juta uang elektronik.
Walaupun sudah banyak disalurkan pembiayaan, namun bunganya bisa 1 persen per hari. Sebenarnya bagaimana industri fintech peer to peer lending menentukan bunga?
Hal ini sebaiknya dijawab oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Namun prinsipnya, kalau mau pinjam Rp20 ribu dalam 1 minggu, bunganya 1 persen per hari itu hanya Rp1.400.
Apabila memang meminjam dalam jumlah besar dan telat membayar, ada kode etik yang menentukan bunga tidak boleh melebihi plafon. Dalam hal ini, AFPI juga pro aktif mengawasinya dalam kode etik dan ada juga call center.
Kami juga serius untuk bangun ini secara profesional, tapi ini butuh waktu dan biaya. Apalagi kalau dikelola secara profesional, per tahun bisa miliaran rupiah. Makanya kami bantu dengan AFPI, kami kelola dengan dana, waktu, manajemen dan badan pengawas sendiri.
Sejauh ini, bagaimana peraturan di industri fintech?
Dari presiden, harapannya jangan banyak regulasi biar jalan dulu. Biar UMKM bisa terpenuhi dan masalahnya bisa diatasi dulu. Kalau banyak regulasi, masalah tetap terjadi bagaimana. Perspektifnya kan solving problem.
Banyak UMKM yang susah cari pembiayaan, belum bisa akses jasa keuangan ini dicari solusi dulu. Jangan mulai dari rem. Biarkan eksplorasi dan inovasi dulu.
Kalau mau inovasi, industri harusnya dibiarkan jalan sendiri dulu atau ada arah inovasi dan harus terima risiko ada yang gagal. Kalau yang gagal di-punish, tidak akan ada inovasi.
Butuh berapa lama industri fintech untuk bisa stabil?
Rata-rata perusahaan teknologi sampai stabil dan IPO butuh waktu sekitar 10 tahun. Ini apabila melihat ke belakang sebelum ada aktivitas merger dan akuisisi.
Kaitannya dengan bank, apakah sejauh ini ada kolaborasi?
Kolaborasi bukan hanya antara fintech dengan bank, ada kolaborasi antara fintech dengan fintech karena masing-masing punya fokus yang berbeda-beda. Ada yang fokus UMKM atau konsumer.
Contoh kolaborasi misalnya antara OVO, Dana dan Go-Pay untuk meningkatkan penjualan UMKM. Kolaborasi lainnya antara Investree dan Bank Danamon untuk cash management, BNI dan Go-Pay untuk program pemerintah, Investree dan Koinworks untuk online seller financing.
Kolaborasi Antara Bank dan Fintech
Sumber : Asosiasi FinTech Indonesia
Apakah bank harus membentuk modal ventura untuk mengakuisisi fintech tersebut?
Latar belakang bank bangun modal ventura agar tahu return dan risiko seperti apa. Jadi, supaya tidak tercampur karena risk profile di modal ventura lebih tinggi. Makanya bank bentuk corporate vc agar bisa dapat eksprimental.
Namun memang ada pro kontra, untuk dapatkan investasi misalnya. Nanti bisa identik dengan bank tertentu.
Tapi mengapa harus akuisisi, kalau PKS (perjanjian kerja sama) saja bisa. Kalau belum kenal, mengapa langsung nikah. Harus tahu prinsip dan cara kerja. Kalau jodoh baru mikirin akuisisi.
(AM)