Bareksa.com - PT. Indosat Tbk (ISAT) menawarkan surat utang berupa obligasi dan sukuk Rp10 triliun. Kupon dari kedua surat utang tersebut berkisar 7,25-10,5 persen per tahun.
Presiden Direktur dan CEO Indosat, Chris Kanter, menjelaskan untuk penerbitan obligasi, total dana yang diharapkan mencapai Rp 7 triliun dan sukuk ijarah mencapai Rp 3 triliun.
"Sementara untuk obligasi yang diterbitkan pada tahap I mencapai Rp1,5 triliun dan sukuk ijarah yang diterbitkan pada tahap I mencapai Rp500 miliar," ujar dia di Jakarta, Kamis (24/1).
Kemudian, obligasi dan sukuk ini diterbitkan untuk 5 tenor. Tenor pertama 370 hari dengan kupon 7,25-8,25 persen per tahun, 3 tahun (8,5-9,5 persen per tahun), 5 tahun (8,75-9,75 persen per tahun), 7 tahun (9,25-10,25 persen per tahun) dan tenor 10 tahun (9,5-10,5 persen per tahun).
Bookbuilding obligasi dan sukuk ini dilakukan mulai 24 Januari sampai dengan 6 Februari 2019. Tanggal efektif diharapkan didapatkan pada 19 Februari 2019 sehingga pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dilakukan pada 1 Maret 2019.
Penerbitan obligasi dan sukuk ijarah ini dibantu oleh penjamin pelaksana emisi yang terdiri dari PT BCA Sekuritas, PT CGS CIMB Sekuritas Indonesia, PT DBS Vickers Sekuritas Indonesia, PT Indo Premier Sekuritas dan PT Mandiri Sekuritas. Sedangkan yang bertindak sebagai wali amanat adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Seluruh dana yang diperoleh dari penawaran umum akan digunakan untuk pembelanjaan infrastruktur jaringan akses, jaringan core dan infrastruktur IT yang digunakan untuk menambah kapasitas dan memperluas jangkauan jaringan tersebut.
Indosat mencatatkan kerugian Rp1,53 triliun selama periode Januari-September 2018. Kinerja tersebut menurun drastis dibandingkan periode sama di 2017 yang untung Rp1,09 triliun.
Kerugian ISAT hingga kuartal III didorong oleh turunnya pendapatan, yakni dari Rp22,565 triliun di 2017 menjadi Rp16,76 triliun di 2018. Pada kuartal III 2018, pendapatan Indosat disumbang oleh sektor selular Rp13,17 triliun, MIDI (Multimedia, Komunikasi Data, Internet) Rp3,02 triliun dan telekomunikasi tetap Rp568,58 miliar.
Chris menjelaskan industri telekomunikasi saat ini memang sedang turun. Di saat yang bersamaan, pemerintah memberlakukan registrasi SIM card yang berdampak masif untuk semua industri telekomunikasi.
"Masyarakat Indonesia reluctant apabila diharuskan melakukan registrasi, ini mengakibatkan penurunan masif bagi semua operator," jelas dia.
Diakuisisi Viettel
Sementara itu, sebelumnya, Reuters melaporkan pada 7 Januari 2019, Presiden dan CEO Viettel Le Dang Dung mengatakan pihaknya berencana mengakuisisi perusahaan telekomunikasi yang berlokasi di Indonesia atau Malaysia. Spekulasi yang berkembang, target perusahaan yang dimaksud adalah Indosat Ooredoo.
Pasar Indonesia dan Malaysia dibidik mengingat keberhasilan penetrasi perusahaan di Myanmar. Di negara tersebut, Viettel bersama dengan mitra lokal, sudah merilis jaringan 4G pada Juni 2018 dengan nilai investasi mencapai US$1,5 miliar dan menjadi salah satu investasi yang menjanjikan.
Meski begitu, Chris secara langsung membantah kabar tersebut. Dalam keterbukaan informasi perusahaan di Bursa Efek Indonesia, Indosat juga menyatakan, pihaknya tidak memiliki informasi terkait hal tersebut.
Semenjak rumor tersebut beredar di pasar modal, harga saham Indosat langsung melejit hingga 24 Januari 2019.