Fintech P2P Lending : Habis Mudah Terbitlah Masalah

Bareksa • 08 Jan 2019

an image
Suasana booth sejumlah manajer investasi dan rekan agen penjual reksa dana dalam acara Investday 2015 di Jakarta, 17 September 2015. InvestDay 2015 mengangkat tema “FinTech: A Game Changer for Indonesia’s Financial World”. Dalam kesempatan sama, diluncurkan asosiasi perusahaan teknologi finansial yang diberi nama FinTech Indonesia

Permasalahan tersebut berupa pengenaan bunga yang tinggi dan sistem penagihan yang tidak manusiawi

Bareksa.com - Di balik kemudahan yang diperoleh masyarakat ketika menggunakan pinjaman online, ternyata banyak masalah yang terjadi. Masalah tersebut terjadi baik di industri peer to peer P2P lending yang sudah terdaftar, bahkan oleh perusahaan keuangan berbasis teknologi (fintech) ilegal.

Masalah ini hampir serupa dengan kejadian industri P2P lending di China, meski Indonesia sudah mewadahi industri ini dengan peraturan ataupun pedoman yang disepakati oleh para angggota asosiasi fintech.

Permasalahan tersebut adalah pengenaan bunga yang tinggi dan sistem penagihan yang tidak manusiawi. Penerapan bunga mencekik dirasakan Fandi, salah seorang nasabah finteh P2P lending yang meminjam Rp800 ribu namun telat membayar delapan hari. Kemudian tagihan yang muncul mencapai Rp3,23 juta atau naik 4 kali lipat dari pokok pinjaman.

Kemudian, Fandi juga meminjam di Tang Bull dan Dana Rupiah senilai Rp800 ribu dengan tenor 15 hari. Dalam hal ini, Fandi telat membayar enam hari sehingga total tagihan menjadi Rp1,3 juta.

"Gimana semua pinjaman mau dibayar, kenapa tidak sekalian langsung sita rumah saja," ucap dia.

Kemudian, Risky Yuliani (26) harus berhenti dari pekerjaan karena aksi debt collector fintech lending. Kira-kira setahun yang lalu, Risky meminjam uang Rp1 juta dari sebuah P2P lending.

"Karena kebutuhan mendadak jadi saya nekat minjam di situ," ujar Risky.

Namun karena tenor pinjaman pendek, Risky harus mencari pinjaman lain untuk menutup pinjaman yang sebelumnya. Hingga akhirnya Risky sudah meminjam uang yang rata-rata Rp1 juta dari 10 aplikasi.

"Cuma berhubung tenor yang pendek membuat saya harus tutup lubang gali lubang sampai akhirnya saya punya pinjaman dari 10 aplikasi," cerita dia.

Pada awalnya, Risky masih bisa membayar pinjaman yang berbunga 2 persen tersebut. Pasalnya, dia masih bisa bekerja dan bisa membayarnya.

Namun belum lama ini, Risky harus menunggak pembayarannya dan dia pun harus keluar dari pekerjaannya karena ulah debt collector P2P lending. "Saya juga diusir dari kos karena telat bayar," kenang dia.

Parahnya, Risky dikenakan denda yang tidak masuk akal atau di luar bunga pinjaman untuk setiap keterlambatan. Risky pun harus diteror oleh debt collector yang terus menagih utangnya hingga akhirnya dia depresi.

"Emergency kontak dan kontak telepon saya yang bukan emergency pun ditelpon sama debt collector, sepertinya memang disadap," ujar dia.

Hingga hari ini, Risky masih belum bisa membayar tagihan pinjaman dia dari aplikasi online tersebut. Risky pun masih diteror oleh para debt collector.

Tidak hanya Risky dan Fandi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menyatakan mendapat sekitar 10 jenis aduan dari 283 orang sejak 2016 terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan peer to peer lending. LBH Jakarta menyebut sebagian perusahaan fintech tersebut terdaftar di OJK.

Perusahaan Fintech Lending Berizin dan Terdaftar di OJK (Oktober 2018)
Sumber : OJK

(AM)