Fintech P2P Lending : Solusi atau Malapetaka?

Bareksa • 07 Jan 2019

an image
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida saat membuka Seminar Internasional Kebijakan dan Regulasi Fintech di Bali, Senin (12/3). (doc: OJK)

Jumlah fintech lending yang tidak terdaftar mencapai 404 entitas

Bareksa.com - Dalam beberapa waktu terakhir, media massa, baik cetak maupun online ramai dengan pembahasan mengenai industri peer to peer (P2P) lending. Namun, sebenarnya seperti apa industri yang katanya akan menjadi masa depan industri perbankan tersebut.

Apakah benar akan menjadi solusi dari banyaknya masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga jasa keuangan atau malapetaka karena masyarakat tidak teredukasi akan risiko yang bisa ditimbulkan dari industri tersebut.

Sejarah P2P Lending di Dunia dan Indonesia

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui terlebih dahulu sejarah dari industri peer to peer lending tersebut. P2P lending atau layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi berawal dari Inggris dengan lahirnya perusahaan bernama Zopa pada Februari 2005 silam. Dilansir dari blog Danain.co.id, perusahaan tersebut sukses menggelontorkan lebih dari £1,5 miliar pinjaman.

Selain Zopa, perusahaan P2P lending lain bermunculan, yakni dengan kehadiran Funding Circle di Inggris. Menurut data per Maret 2016, Funding Circle telah menyalurkan pinjaman lebih dari £1,3 miliar. Sebagai informasi, kedua perusahaan tersebut merupakan anggota dari Peer 2 Peer Finance Association (P2PFA).

Kendati bermunculan banyak perusahaan, namun ada sebuah perusahaan P2P lending di Inggris yang tidak bernasib mujur. Tahun 2011 lalu, sebuah perusahaan bernama Quakle harus ditutup karena tingkat kegagalan yang mencapai 100 persen. Penyebabnya, perusahaan tersebut mengukur berbagai kelayakan kredit peminjam dari skor kelompok yang berujung pada kegagalan pelunasan.

Melihat hal ini, P2P lending akhirnya diatur oleh Financial Conduct Authority secara resmi sejak 2014. Sayangnya, P2P lending tidak memenuhi syarat untuk dapat perlindungan dari Financial Services Compensation Scheme (FSCS) yang secara khusus diberikan mandat untuk menjamin perbankan berikut nasabahnya.

Tidak hanya di Inggris, P2P lending juga bermunculan di negara besar lainnya seperti di Amerika Serikat. Di negara tersebut, P2P lending hadir pada Februari 2006 dengan kemunculan Prosper, kemudian diikuti oleh Lending Club.

Namun berbeda dengan Inggris, P2P lending kurang populer di Amerika Serikat. Ada beberapa alasan yang membuat hal tersebut terjadi. Pertama, dampak krisis finansial tahun 2008 yang berakibat pada penutupan penyaluran kredit baru dan pemberian suku bunga yang mendekati 0 persen bagi deposan oleh pihak perbankan.

Kedua, pembatasan yang didasarkan pada kelayakan peminjam serta diberlakukannya standar tarif peminjam yang sangat tinggi. Ketiga, pihak investor menilai jangka waktu peminjaman cukup lama, sekitar 3 tahun, di mana hal tersebut tidak mereka inginkan.

Akibatnya, pada 2008 lalu, Prosper dan Lending Club menghentikan sementara proses peminjaman baru bagi pihak peminjam. Saat itu pula, Zopa memilih angkat kaki dari pasar Amerika.

Perkembangan P2P lending selanjutnya menjalar ke China, tepatnya pada tahun 2007. Menurut data yang dirilis Straits Times tahun 2014, ada sekitar 2600 platform P2P lending yang beroperasi di China. Jumlah aktivitas pinjam-meminjam saat itu pun mencapai US$207 miliar.

Data tersebut menunjukkan, China merupakan pasar P2P lending terbesar dunia melampaui Inggris dan Amerika.

Ada beberapa perusahaan P2P lending yang paling terkenal dari negara asal Great Wall seperti Lufax, CreditEase, Tuandai, dan DianRong.

CreditEase diklaim punya jaringan sangat besar secara offline, di mana mereka memiliki banyak cabang di kota-kota besar dan berafiliasi dengan Lending Club di Amerika. Sementara di Hong Kong, perusahaan P2P lending pertama adalah WeLab.

Meski begitu perkembangan P2P Lending di China mengalami masa pasang surut. Banyak P2P lending berhenti beroperasi karena terbukti melarikan uang investor, mengalihkan dana ke bisnis lain, menerapkan bunga tinggi, serta gagal menangani kredit macet.

Banyaknya permasalahan fintech lending ini disebabkan karena Pemerintah China tidak memiliki regulasi kuat untuk mengawasi P2P lending sehingga banyak perusahaan ilegal yang bermunculan. Namun setelah Pemerintah China memperkuat aturan, fintech ilegal ini banyak berpindah ke luar negeri, terutama Indonesia.

Satuan Tugas Waspada Investasi yang berisikan 13 lembaga dan kementerian menemukan 407 entitas P2P lending yang tidak berizin dan dinilai dapat merugikan masyarakat. Entitas layanan tersebut banyak yang berasal dari luar Indonesia, salah satu dari China.

Hendrikus Passagi Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK mengatakan ekspansi fintech lending China ilegal ke Indonesia tak lepas dari pengetatan aturan yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Beijing semakin serius memberantas fintech lending bermasalah yang melakukan praktek perbankan gelap (shadow banking).

Bahkan pemerintah China menutup beberapa di antaranya. Beijing juga berencana tidak menerbitkan izin fintech lending hingga pemeriksaan selesai dilakukan.

Perkembangan P2P Lending di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan P2P lending berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hingga September 2018, terdapat 161.297 lender yang telah menginvestasikan dananya di industri P2P lending dan sekitar 2,3 juta peminjam yang menggunakan layanan fintech lending tersebut.

Sementara jumlah pinjaman para peminjam tersebut mencapai Rp13,83 triliun atau meningkat dibandingkan Januari 2018 yang mencapai Rp3,02 trilliun.

Perkembangan P2P lending yang sangat pesat ini terjadi karena proses peminjaman yang sangat berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang ada. Hal ini diamini oleh CEO Uang Teman Aidil Zulkifli.

Aidil menjelaskan ada tiga hal yang membuat masyarakat lebih banyak memilih pinjaman online daripada pinjaman konvensional. Alasan pertama adalah kecepatan, Aidil mengatakan, mulai proses pengajuan dana talangan sampai proses pencairan ke rekening nasabah hanya hitungan detik.

"Kalau data yang diberikan tepat maka proses verifikasinya juga akan cepat, paling cepat 33 detik. Tapi rata-rata 6 jam sampai sehari bila dokumen tidak lengkap,” katanya.

Selanjutnya, pengajuan pinjaman online juga lebih mudah. Biasanya untuk mengajukan pinjaman ke bank atau multifinance ada beberapa proses yang harus dilalui, yakni mulai dari kelengkapan dokumen, keterangan usaha atau slip gaji, jaminan, survei lokasi hingga verifikasi data.

Namun proses ini tidak berlaku seluruhnya ketika menggunakan pinjaman online. Calon peminjam cukup meng-upload foto Kartu Tanda Penduduk (KTP), foto slip gaji, swa foto, dan foto Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memenuhi persyaratan berusia di atas 21 tahun.

Sedangkan alasan terakhir masyarakat banyak menggunakan pinjaman online adalah karena aman. OJK saat ini sudah mengatur mengenai industri P2P lending melalui POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Dalam peraturan tersebut, OJK mengajak pelaku P2P lending untuk mendaftar ke OJK paling lambat enam bulan sejak POJK tersebut berlaku. Kemudian OJK juga memberikan waktu 1 tahun setelah pelaku P2P lending untuk mengajukan perizinan. Apabila dalam waktu 1 tahun tidak bisa memenuhi ketentuan terkait perizinan, maka bukti tanda terdaftar akan dicabut.

Perbedaan signifikan antara P2P lending yang terdaftar dan berizin adalah dari segi permodalan, yakni minimal Rp1 miliar untuk fintech terdaftar dan Rp2,5 miliar untuk fintech berizin.

Sementara terkait penetapan bunga dan proses penagihan, OJK tidak memberikan peraturan mengenai hal tersebut. Di dalam POJK No.77 tahun 2016 hanya disebutkan, penyedia P2P lending wajib melakukan transpransi tentang pengenaan suku bunga pinjaman dalam bukti dokumen elektronik.

OJK malah memberikan tugas tersebut kepada Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) dalam bentuk code of conduct yang dirancang oleh komite etik. Kepala Grup Pengembangan Inovasi Keuangan Mikro OJK Triyono Gani beralasan, pengawasan yang dilakukan pada fintech lending tidak akan seketat perbankan karena mereka bukan lembaga keuangan. OJK hanya menerapkan prinsip-prinsip dasar saja.

"OJK tidak akan lakukan pendekatan pengawasan prudent pada fintech lending. Pendekatan pengawasan yang kami lakukan dalam bentuk code of conduct dan code of ethics," ujar Triyono.

Sejauh ini, sudah terdapat 78 lembaga P2P lending yang terdaftar di OJK. Namun jumlah fintech lending yang tidak terdaftar lebih banyak lagi, yakni mencapai 404 entitas, menurut temuan dari Satgas Waspada Investasi.

(AM)