Bareksa.com - Berikut ini adalah intisari perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal, dan aksi korporasi yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 29 November 2018 :
Pemprov DKI
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD DKI Jakarta dan Pemprov DKI akhirnya menyepakati kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA-PPAS) anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI 2019 sebesar Rp89,08 triliun, pada rapat paripurna Rabu (28/11). MoU tersebut ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah jajaran pimpinan DPRD DKI Jakarta.
Total RAPBD 2019 adalah Rp89,08 triliun, meningkat 7 persen dibandingkan dengan APBD 2018 yang sebesar Rp83,26 triliun.
Pendapatan daerah pada 2019 direncanakan sebesar Rp74,77 triliun yang berasal dari pendapatan asli daerah Rp51,12 triliun, dana perimbangan Rp21,3 triliun, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp2,34 triliun.
Transaksi Bursa T+2
PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyampaikan laporan telah melakukan proses penyelesaian untuk transaksi bursa tanggal 23 November 2018 yang merupakan hari terakhir perdagangan dengan siklus penyelesaian T+3 dan transaksi bursa tanggal 26 November 2018 yang merupakan hari pertama perdagangan dengan siklus penyelesaian T+2.
Berdasarkan hasil evaluasi atas penerapan siklus penyelesaian T+2 yang dimulai dari proses Transaksi Bursa pada 23 November 2018 dan 26 November 2018 sampai dengan penyelesaian transaksi gabungan (double settlement) yang jatuh pada Rabu, 28 November 2018, dapat disimpulkan penerapan percepatan siklus penyelesaian transaksi bursa dari T+3 menjadi T+2 di pasar modal Indonesia dinyatakan sukses.
PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN)
Sengketa kepemilikan saham BFIN dengan PT Aryaputra Teguharta (APT) semakin memanas. APT mengumumkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 12 November 2018 telah mengabulkan seluruh gugatan.
Dalam putusan tersebut, PTUN Jakarta menyatakan batal seluruh keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham) yang tidak mencantumkan APT sebagai pemilik sah atas 32,32 persen saham pada BFI dan memerintahkan Menkumham untuk mencabut keputusan-keputusan tersebut.
Di sisi lain, eksepsi yang diajukan baik oleh tergugat (Menkumham) dan tergugat II intervensi (BFI), ditolak untuk seluruhnya. Selain itu, Majelis Hakim yang memeriksa perkara aquo juga telah menyatakan APT sebagai pemilik sah atas 111.804.732 saham pada BFI yang didasari pada Putusan PK MA No. 240/2006. Pihak APT meminta BEI dan OJK bertindak dengan menghentikan perdagangan (suspensi) saham BFIN.
PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA)
Perseroan memiliki tagihan piutang tetap senilai Rp2,4 triliun, berkurang Rp1 triliun dari nilai tagihan piutang sementara yang mencapai Rp3,4 triliun.
Pengurus PKPU Rizky Dwinanto mengatakan bahwa nilai tagihan piutang dari para kreditur perusahaan berkode saham AISA itu menyusut karena pengurus harus melakukan pemisahan daftar tagihan bagi kreditur yang ingin diwakili oleh kuasa hukum dan tanpa diwakili.
Dalam perjalanan waktu, jelasnya, terjadi pemisahan kreditur separatis, yakni ada yang minta diwakili oleh wali amanat dan ada yang tetap sebagai kreditur separatis pemegang obligasi atau surat utang.
“Menjadi Rp2,4 triliun karena rekonsiliasi, ada yang mau dengan wali amanat dan ada pemegang surat utang. Mereka tidak mau diwakili jadi otomatis nilainya berkurang,” kata Rizky seperti dikutip Bisnis Indonesia.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA)
Perseroan menggelontorkan kredit modal kerja Rp7,1 triliun kepada 10 anak usaha dari PT Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).
Pembiayaan tersebut resmi diberikan setelah perjanjian kerja sama disepakat. Grup Pupuk Indonesia akan mengalokasikan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan produksi anak usahanya.
Direktur BCA Rudy Susanto mengatakan penyaluran kredit ini menunjukkan bahwa perseroan tidak hanya berperan untuk program pemerintah di bidang infrastruktur ataupun manufaktur. Perseroan juga terlibat dalam pembiayaan ketahanan pangan.
“Melalui pembiayaan ini kami berharap dapat memberikan multiplier effect secara langsung kepada masyarakat sekaligus turut memberikan dampak yang siginifikan dalam program ketahanan yang digagas pemerintah,” ujarnya, Rabu.
PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW)
Emiten produsen kemasan membidik kenaikan penjualan sekitar 15 - 20 persen pada 2019, didorong oleh penambahan kapasitas pabrik yang akan dirampungkan akuisisinya pada akhir tahun ini. Saat ini, emiten dengan sandi FASW tersebut memiliki satu pabrik di Bekasi dengan kapasitas 1,3 juta ton dan utilisasi 100 persen.
Setelah akuisisi, kapasitas perseroan akan meningkat 23 persen sehingga dipastikan akan mengerek pendapatan. Dibandingkan dengan tahun ini, ekspektasi penjualan FASW untuk tahun depan kurang lebih naik 15 - 20 persen. Hal ini didukung oleh kapasitas baru perseroan dari akuisisi pabrik di Jawa Timur.
(AM)