Bareksa.com - Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin merilis neraca perdagangan Indonesia pada periode September 2018 surplus US$230 juta. Angka tersebut didasarkan pada realisasi ekspor US$14,83 miliar dan impor US$14,60 miliar.
Kondisi tersebut merupakan surplus ketiga kalinya, setelah sebelumnya diraih pada bulan Maret dan Juni. Keberhasilan Indonesia meraih surplus perdagangan pada periode September 2018, memunculkan proyeksi serta harapan jika defisit transaksi berjalan (current deficit account/CAD) akan menurun di akhir 2018.
Sumber: BPS, diolah Bareksa
Surplus neraca perdagangangan tersebut lantas memberikan harapan jika defisit transaksi berjalan akan menurun pada kuartal III 2018.
Sebelumnya pada kuartal II 2018, CAD mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau tepatnya di level 3,04 persen dari PDB, angka terbesar sejak kuartal III 2014.
Namun bisa jadi potensi defisit mengalami penurunan justru agak sulit terealisasikan. Sebab surplus yang terjadi pada periode ini relatif lebih kecil dibandingkan Maret dan Juni 2018 yang masing-masing US$1,09 miliar dan US$1,74 miliar.
Terlebih dalam perhitungan neraca transaksi berjalan, ada komponen-komponen lain di antaranya neraca jasa dan pendapatan primer yang berkontribusi besar terhadap perhitungan indikator tersebut.
Dari sisi neraca jasa, Bank Indonesia (BI) menggunakan indikator diantaranya biaya pengiriman (freight). Untuk menghitung indikator ini, sulit mencari sumber angka yang valid. Namun, kita dapat menggunakan data dari pertumbuhan ekspor dan impor.
Ketika dua variabel tersebut cenderung tumbuh tinggi, tentu berimbas kepada biaya pengiriman yang juga ikut naik. Per September, ekspor tumbuh 1,7 persen year on year (yoy) dan impor 14,18 persen (yoy).
Sementara selama periode Juli hingga September 2018, rata-rata pertumbuhan ekspor 8,39 persen YoY dan impor 25,32 persen (yoy).
Dari kondisi tersebut, secara tidak langsung kita dapat melihat bahwa freigth yang keluar lebih banyak dibandingkan yang diterima, akibat laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertembuhan ekspor.
Artinya, arus devisa yang keluar lebih banyak dibandingkan dengan yang masuk, sehingga kondisi tersebut menandakan adanya sinyal CAD.
Sementara itu, dari sisi pendapatan primer, indikator yang bisa digunakan salah satunya yaitu bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Menurut data dari Bank Indonesia per Juli 2018, jumlah utang yang dibayar pemerintah mencapai US$778 juta atau yang tertinggi pada 2018.
Artinya, devisa yang ada di tanah air cenderung cukup banyak keluar dari Indonesia untuk membayar utang pemerintah tersebut, sehingga kondisi tersebut juga menandakan adanya sinyal CAD.
Gambaran dua data tersebut memperlihatkan ancaman defisit transaksi berjalan di kuartal III 2018 masih cukup besar. Terlebih dari sisi neraca perdagangan barang saja, Indonesia sudah mengalami defisit hingga US$2,75 miliar. Lalu seperti apa nantinya kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia?
(AM)