Cadangan Devisa per Agustus Tergerus US$412 Juta, Bagaimana Prospek Rupiah?

Bareksa • 10 Sep 2018

an image
Petugas menghitung uang pecahan Rupiah dan dolar AS di Valuta Inti Prima (VIP), Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Cadangan devisa per Agustus tercatat berada di posisi US$117,9 miliar atau anjlok dibandingkan US$118,3 miliar pada Juli

Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) pada Jumat  7 September 2018 merilis data cadangan devisa per Agustus 2018. Berdasarkan data tersebut, cadangan devisa per Agustus tercatat berada di posisi US$117,9 miliar atau turun US$412 juta dari periode Juli yang sebesar US$118,31 miliar.

Angka tersebut merupakan yang terendah sejak Januari 2017.


Sumber: Bank Indonesia, diolah Bareksa

Penurunan tersebut sekaligus melanjutkan tren negatif yang terjadi sejak awal 2018. Dibandingkan dengan posisi Januari yang tercatat US$131,98 miliar, cadangan devisa telah tergerus hingga US$14,08 miliar (-10,67 persen).

Kemudian jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu US$128,79 miliar, posisi cadangan devisa tercatat lebih rendah US$10,89 miliar (-8,45 persen).

Pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat menjadi faktor dominan anjloknya cadangan devisa tersebut.

Tekanan Rupiah

Adapun penurunan cadangan devisa paling dominan disebabkan oleh langkah BI dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah yang beberapa waktu terakhir melemah cukup dalam.

Sekedar informasi, sepanjang Agustus 2018 rupiah telah terdepresiasi 2,15 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Posisi rupiah melemah dari sebelumnya Rp14.415 per dolar AS di akhir Juli 2018, menjadi Rp14.725 per dolar AS pada akhir agustus 2018. 

Faktor Eksternal

Tertekannya rupiah seiring dengan kuatnya sentimen negatif dari eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS), perang dagang, hingga krisis mata uang di negara berkembang menjadi penyebabnya.

Sinyal hawkish yang ditunjukan bank sentral AS (The Fed) pada tahun ini, memukul mayoritas mata uang dunia, termasuk rupiah.

Sejak awal tahun, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin (0,5 persen). Di sisa akhir tahun ini, kemungkinan ada kenaikan hingga dua kali lagi seiring data-data ekonomi Negeri Paman Sam yang membaik. 

Di sisi lain, tensi perang dagang yang terus memanas juga ikut berimbas terhadap tertekannya rupiah. Mulai dari perseteruan antara AS dan China hingga meluas ke negara-negara lain seperti Kanada, memicu kekhawatiran melambatnya perekonomian global.

Teranyar, Presiden AS Donald Trump memperingatkan siap menerapkan tarif atas barang impor dari China ke Amerika Serikat yang nilainya mencapai US$267 miliar, lebih tinggi dari sebelumnya US$200 miliar seperti yang diberitakan selama ini.

Langkah tersebut semakin meningkatkan tensi perang dagang antara Washington dengan Beijing yang menuntut  perubahan besar dalam kebijakan ekonomi, perdagangan, dan teknologi.

China sebelumnya sudah mengancam akan ada pembalasan, yang dapat mencakup tindakan terhadap perusahaan AS yang beroperasi di Negeri Tirai Bambu.

Belum cukup sampai disitu, krisis mata uang yang melanda negara-negara emerging market seperti Turki, Argentina hingga Afrika Selatan turut memberikan sentimen negatif bagi mata uang negara-negara emerging market lain seperti Indonesia.

Faktor Internal

Sementara dari sisi fundamental dalam negeri, ada sejumlah faktor yang turut andil dalam pelemahan rupiah,yakni defisit transaksi berjalan dan besarnya porsi asing di Surat Berharga Negara (SBN). Pada kuartal II 2018, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Secara keseluruhan pada tahun ini, defisit diperkirakan berada di posisi 2,5 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 sebesar 1,7 persen dari PDB. Defisit yang lebih besar, memicu persepsi negatif di kalangan investor sehingga menyebabkan rupiah tertekan. 

Di sisi lain, besarnya porsi asing di SBN juga menjadi faktor penyebabnya. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 6 September 2018, porsi kepemilikan asing di SBN mencapai 37,21 persen atau setara Rp845,94 triliun dari keseluruhan dana yang ada. Berbagai pressure point yang ada menyebabkan pasar keuangan Indonesia sedang mengalami masa sulit.

Bank Indonesia (BI) sendiri telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi hal ini. Mulai dari menaikkan suku bunga acuan hingga 175 bps (1,75 persen) hingga intervensi dengan membeli SBN di pasar sekunder.

(AM)