Bareksa.com - Nilai tukar rupiah kembali merosot ke level terendah dalam dua dekade karena krisis keuangan di Argentina dan Turki meningkatkan kekhawatiran di pasar negara berkembang lainnya dengan defisit neraca berjalan.
Sekedar mengingatkan, defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II 2018 melebar menjadi sebesar 3,04 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau nilainya US$8 miliar dan lebih tinggi dari periode kuartal I 2018 yang mencapai US$ 5,7 miliar.
Seperti dikutip dari Reuters kurs rupiah di pasar spot pada hari ini, Jumat, 31 Agustus 2018 pukul 16.22 telah menembus Rp14.829 per dolar AS atau makin terpuruk dibandingkan kemarin. Level rupiah itu merupakan yang terendah sejak krisis 1998.
Kurs Rupiah terhadap Dolar AS Sejak Awal 2018 Hingga 31 Agustus 2018 Pukul 16.22 WIB
Sumber : Reuters
Dilansir dari tradingeconomics.com, hingga pukul 11.00 WIB nilai tukar rupiah jatuh ke level Rp14.725 per dolar AS. Imbal hasil obligasi Indonesia naik 5 basis poin (0,05 persen) hingga ke level 8,06 persen.
Sumber: tradingeconomics.com
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia yakni Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah diperdagangkan makin melemah sepekan terakhir dari Rp14.610 per dolar pada 27 Agustus menjadi Rp14.711 per dolar AS pada hari ini, Jumat, 31 Agustus 2018.
Kinerja rupiah yang lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya disebabkan oleh posisi pembayaran eksternal Indonesia yang lemah, terutama oleh defisit neraca berjalan (current account defisit/CAD).
Namun, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sekarang jauh berbeda dari 20 tahun yang lalu ketika krisis yang berasal dari Asia serta kelayakan kredit eksternal rupiah jauh lebih lemah.
Melemahnya mata uang Garuda juga disebabkan oleh greenback yang sedang dalam momentum penguatan. Setidaknya ada dua faktor yang menopang keperkasaan dolar AS.
Faktor pertama, rilis data ekonomi AS yang terus positif. Indeks pengeluaran konsumsi (core personal consumption expenditure/Core PCE) AS pada Juli 2018 tercatat sebesar 2 persen secara year on year (yoy).
Core PCE menunjukkan konsumsi masyarakat dikurangi barang-barang musiman sehingga bisa menjadi indikator laju inflasi dan daya beli. Bank Sentral AS (The Fed) memilih menggunakan indikator PCE untuk memonitor inflasi, sehingga data ini menjadi penting.
Adapun The Fed menargetkan Core PCE di kisaran 2 persen dalam jangka menengah. Kini target tersebut sudah tercapai, mencerminkan inflasi AS sudah berada di ujung batas aman. Artinya, ke depan ekspektasi inflasi harus dikendalikan, dan cara yang paling klasik adalah dengan menaikkan suku bunga acuan.
Saat suku bunga naik, maka berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS akan semakin menguntungkan karena imbalan hasilnya ikut naik. Memegang dolar AS saja sebenarnya sudah menguntungkan, karena kenaikan suku bunga membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang tidak turun.
Faktor kedua, perkembangan mengenai perang dagang AS vs China. Dilansir dari Reuters, beberapa sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akanmengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai dari 20 Agustus hingga 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan akan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut.
Kenaikan suku bunga di AS plus kekhawatiran perang dagang sudah cukup membuat dolar AS menjadi buruan utama pelaku pasar. Di satu sisi dolar AS memberikan keuntungan, dan di sisi lain juga memberi perlindungan terhadap risiko yang menyelimuti pasar keuangan global.
(AM)