Bareksa.com - Nilai tukar rupiah mengalami tekanan pada perdagangan kemarin. Dilansir dari Reuters.com, pada Kamis 20 Agustus 2018 kurs rupiah ditutup pada level Rp14.685 per dolar Amerika Serikat (AS) atau melemah 0,2 persen dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.
Alhasil, sejak awal tahun hingga kemarin mata uang Garuda telah terdepresiasi 8,23 persen terhadap dolar AS.
Sumber: Reuters
Pembelian valuta asing (valas) oleh perusahaan untuk kebutuhan impor masih menjadi salah satu faktor yang menekan nilai tukar rupiah sepanjang perdagangan kemarin.
Sekedar informasi, untuk membiayai kebutuhan impor diperlukan standar mata uang internasional (dolar AS). Ketika kebutuhan impor semakin banyak, maka permintaan dolar AS akan semakin tinggi yang pada akhirnya akan membuat dolar AS semakin mahal dan rupiah semakin terpuruk.
Di saat dolar AS semakin banyak keluar untuk membiayai impor, otomatis persediaan dolar (cadangan devisa) dalam negeri semakin menyusut. Ketersediaan pasokan dolar AS yang semakin berkurang di suatu negara, akan menyebabkan greenback menjadi semakin mahal.
Ekonomi AS Menguat
Di sisi lain, tekanan terhadap nilai tukar juga berasal dari rilis data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada kuartal II 2018 yang direvisi naik dari sebelumnya 4,1 persen menjadi 4,2 persen. Angka tersebut merupakan pertumbuhan dengan laju tercepat sejak 2014.
Rilis data tersebut akan semakin mempertebal keyakinan bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Hal itu dilakukan untuk sedikit mengerem laju pertumbuhan ekonomi AS agar tidak mengalami terlalu panas (overheat), kondisi di mana permintaan jauh lebih tinggi dibandingkan penawaran sehingga menciptakan inflasi tinggi yang sebenarnya tidak perlu.
Peluang kembali terjadinya kenaikan suku bunga AS bisa menjadi stimulus yang ampuh bagi dolar AS. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat imbal hasil investasi (yield) di AS naik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi.
Sebenarnya investor yang memegang dolar AS saja sudah menguntungkan, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga melindungi nilai mata uang dari potensi depresiasi
Karena itu, ada kemungkinan dolar AS dan instrumen berbasis mata uang Negeri Paman Sam akan kebanjiran permintaan. Akibatnya, dolar AS bisa semakin terapresiasi terhadap berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.
Selain itu, keputusan bank sentral China yang melemahkan Yuan, serta krisis mata uang Argentina dan Turki menjadi penyebab mata uang Garuda tak bertaji melawan penguatan dolar AS yang semakin perkasa.
Sumber: Reuters
Sekedar informasi, Dilansir dari Reuters, pada 30 Agustus 2018 nilai tukar peso Argentina anjlok 11,65 persen terhadap dolar AS. Alhasil, sejak awal tahun nilai tukar peso telah rontok 103,98 persen di hadapan greenback, atau merupakan yang terdalam dibandingkan mata uang negara lainnya.
Presiden Argentina Mauricio Macri pada Rabu (29/8/2018) bahkan telah meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mempercepat pencairan bantuan US$50 miliar (Rp 733,5 triliun) untuk menyelamatkan nilai tukar peso.
Namun masuknya IMF bukan tanpa hambatan. Sebagian besar rakyat Argentina masih trauma dengan kehadiran IMF, yang juga hadir kala Argentina mengalami krisis pada awal dekade 2000-an.
Resep IMF, yaitu pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, ditengarai menjadi penyebab orang miskin menjadi tambah miskin. Kehadiran IMF kali ini kemungkinan masih membawa resep yang sama.
Dikhawatirkan situasi Argentina akan meledak seperti Turki beberapa hari lalu. Investor akhirnya jadi lebih memilih bermain aman dan meninggalkan negara-negara berkembang. Jika ini terjadi, maka rupiah akan kekurangan pasokan modal sehingga pelemahan sangat mungkin terjadi.
Perkembangan di AS dan Argentina berpotensi membuat dolar AS semakin kuat karena menjadi buruan investor yang memilih bermain aman. Beban rupiah akan semakin berat dan depresiasi kemungkinan masih akan berlanjut.
(AM)