Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) terus memprioritaskan kebijakan dari sisi moneter guna memperkuat dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Langkah itu dilakukan guna mendukung langkah-langka pemerintah dalam mengendalikan defisit transaksi berjalan dengan cara mendorong ekspor dan mengurangi impor.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan pihaknya siap untuk terus melanjutkan langkah-langkah yang selama ini dilakukan baik dari sisi kebijakan suku bunga maupun juga dari kebijakan-kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Langkah ini dianggap penting dilakukan guna memaksimalkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas di masa mendatang.
"Intervensi ganda akan dilakukan baik di pasar valas maupun pembelian SBN dari pasar sekunder kalau diperlukan dalam hal-hal terjadi tekanan reversal. Ini yang terus kami lakukan dan itu komitmen kami untuk terus menjaga stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar rupiah," kata Perry, di Jakarta, Selasa, 14 Agustus 2018.
Selain itu, lanjut Perry, BI juga terus melakukan langkah-langkah koordinatif tidak hanya dengan pemerintah tapi juga dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat pasar valas. BI telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk bisa menyediakan sejumlah instrumen bagi para eksportir, importir, maupun pengusaha.
"Langkah itu untuk bisa melakukan transaksi valas, baik melalui penjualan mengekspor swap forward atau penanaman di instrumen BI melalu simpanan valas maupun SBI valas," kata Perry.
Perry menambahkan BI saat ini sudah menyediakan swap valas dengan tingkat harga yang murah. Yang pertama, untuk sesi pagi, BI melakukan swap valas dalam rangka pengelolaan likuiditas.
"Itu tenornya bisa 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, sampai 12 bulan kami lelang itu sekitar jam 10.00 sampai 11.30 dan kemudian kita umumkan jam 14.00," ujarnya.
Sementara di sore, lanjut Perry, BI menyediakan swap valas hedging bagi korporasi-korporasi yang mempunyai underlying transaksi baik dari ekspor atau dari devisa utang luar negeri maupun devisa-devisa lain.
"Itu bisa men-swap-kan ke bank dan bank bisa me-reswap-kan ke BI. Tenornya adalah 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Itu kami window itu terbuka dari jam 2 sore sampai jam 4 sore," terang Perry.
Adapun mata uang yang ditawarkan, menurut Perry, tidak hanya dolar AS tapi juga euro, yen, maupun yuan. Sementara tingkat harganya murah. Perry menunjuk contoh swap rate, untuk FX swap rate dengan BI untuk 1 bulan sekarang ini adalah 4,25 persen. Sedangkan untuk 3 bulan sekarang 4,75 persen atau turun dari sebelumnya 5,2 persen.
"Dengan demikian, korporasi kalau mempunyai valas bisa menjualnya secara spot atau juga kalau mereka membutuhkan rupiah tetap bisa memegang dolarnya tapi juga menjual secara swap dengan tingkat harga yang lebih murah," tukasnya.
Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan
Di sisi lain, pemerintah mengambil langkah tegas dalam upaya mengendalikan defisit transaksi berjalan yang pada kuartal II 2018 ini sudah mencapai tiga persen dari PDB. Pemerintah akan mengendalikan impor barang, terutama impor barang yang menyangkut proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan instruksi yang sangat tegas bahwa semua pihak di kabinet harus melakukan langkah-langkah untuk mengamankan neraca pembayaran, terutama pada defisit transaksi berjalan.
"Kita sekarang harus melakukan tindakan tegas untuk mengendalikan. Karena kalau tidak ekspor, kita walaupun pertumbuhannya cukup bagus dan double digit, namun karena impornya jauh lebih tinggi dan pertumbuhannya double digit yang sangat tinggi, ini menyebabkan kita harus melakukan langkah yang cukup tegas dan agak drastis pada pengendalian impor," terangnya.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah, menurutnya, pertama untuk impor yang menyangkut proyek-proyek infrastruktur yang dikendalikan oleh pemerintah, terutama PLN dan Pertamina diminta untuk melihat komponen impor dari proyek-proyek mereka, tidak hanya memenuhi TKDN yaitu komponen dalam negeri, tapi juga melihat secara langsung berapa jumlah impor barang modal.
Kedua, untuk barang-barang yang berhubungan dengan barang konsumsi maupun bahan baku yang memiliki potensi untuk subsitusi produk dari dalam negeri maka pemerintah akan menetapkan PPh impor sebesar 7,5 persen.
"Kita akan lihat kalau barang ini permintaannya melonjak tinggi dan dia tidak betul-betul strategis dan sangat dibutuhkan di dalam perekonomian, maka akan dikendalikan," pungkasnya.
(K03/AM)