Bareksa.com - Turki sedang diambang krisis ekonomi setelah mata uang lira makin terpuruk dampak dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menaikkan bea masuk aluminium dan baja hingga dua kali lipat pada Jumat (10/8/2018).
Sekedar informasi, sebelumnya AS telah mengenakan tarif impor aluminium dan baja untuk Turki masing-masing 10 dan 25 persen. Kemudian pada akhir pekan lalu, Trump secara mengejutkan meresmikan pelipatgandaan bea masuk untuk kedua produk tersebut masing-masing menjadi 20 dan 50 persen.
Keputusan Trump tersebut menyebabkan nilai tukar lira, mata uang turki, seketika anjlok hingga 18 persen terhadap dolar AS di hari Jumat. Depresiasi itu merupakan penurunan harian yang terparah sejak tahun 2001 silam.
Pergerakan Kurs Lira terhadap Dolar AS
Sumber: Reuters
Melansir dari situs Reuters, lira pada penutupan kemarin terpantau masih turun sekitar 7,47 persen dengan berada di level 6,91 per dolar AS. Bank sentral Turki bahkan telah menaikkan suku bunga sampai 1.000 bps atau 10 persen ke level 17,5 persen untuk menjaga mata uangnya.
Namun di balik kepanikan itu, pemerintah Turki tetap harus mencari akar permasalahannya. Indonesia pada 1998 juga pernah menaikkan suku bunga hingga 60 persen, tetapi hal tersebut tidak menolong, nilai tukar rupiah tetap saja meluncur ke level Rp16.000 per dolar AS.
Trump memberlakukan sanksi bea impor yang dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Erdogan yang menolak membebaskan seorang pendeta berkewarganegaraan AS bernama Andrew Brunson. Dia ditahan sejak Oktober 2016 atas tuduhan aksi teror dan mata-mata yang menjadi bagian dari upaya kudeta terhadap Erdogan.
Di sisi lain, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Senin (13/8/2018) menuduh Amerika Serikat (AS) berusaha untuk menikam Turki "dari belakang" di tengah pertikaian diplomatik yang dipicu oleh penahanan seorang pendeta Amerika, yang telah membuat mata uang lira bergejolak.
Dampak krisis ekonomi Turki mulai menghantui global. Bursa global mengalami koreksi masal pada hari Senin.
Pelemahan tajam yang terjadi pada lira membuat investor cemas karena perusahaan-perusahaan di Negeri Kebab lumayan agresif dalam berutang. Pada akhir kuartal I 2018, total utang luar negeri (ULN) Turki mencapai US$466,67 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pelemahan mata uang suatu negara tentu akan membuat pembayaran utang luar negerinya jadi membengkak akibat harus menanggung selisih kurs, padahal jumlah pinjamannya tidak berubah. Akibatnya adalah bisa memicu gagal bayar (default).
Defisit Neraca Berjalan Turki
Sumber: Tradingeconomics
Secara fundamental, perekonomian Turki juga relatif rapuh. Neraca pembayaran Negera yang beribukota di Ankara tersebut sejak kuartal III 2015 tidak pernah merasakan surplus. Terakhir, neraca pembayaran Turki defisit US$2,97 miliar pada akhir kuartal II 2018.
Sekedar informasi, neraca pembayaran yang defisit menggambarkan bahwa devisa yang keluar dari suatu negara lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Hal tersebut membuat perekonomian Turki dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya cadangan devisa dalam negerinya.
Saat sokongan devisa tidak menudukung, maka posisi mata uang akan mudah goyah. Lira hanya mengandalkan arus modal hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, pasar pun kemudian “menghukum” Turki. Aset-aset berbasis lira dilepas, dan mata uang ini pun terjun bebas. Namun ternyata terpelesetnya ekonomi Turki membawa risiko baru bagi pasar keuangan global yang patut diwaspadai.
(AM)