Bareksa.com - Pemerintah Indonesia bersama Freeport-McMoRan Inc (FCX), perusahaan induk dari PT Freeport Indonesia, telah menyepakati Heads of Agreement (kesepakatan pokok) terkait proses peralihan sebagian kepemilikan saham PT Freeport Indonesia. Penandantangan head of agreement dilakukan di Jakarta, hari ini, Kamis, 12 Juli 2018.
“Kesepakatan tersebut adalah bagian dari proses yang memungkinkan pemerintah untuk memiliki 51 persen saham Freeport Indonesia,” ungkap pernyataan resmi manajemen Freeport.
Kedua perusahaan yang akan menjadi pemegang saham Freeport Indonesia, yaitu PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dan Freeport-McMoRan telah sepakat untuk melanjutkan program jangka panjang yang telah dan tengah dijalankan oleh Freeport Indonesia.
“Sebagai entitas bisnis Indonesia, Freeport Indonesia meyakini kesepakatan pokok tersebut akan memberikan manfaat bagi semua pihak,” ungkap Freeport.
Dalam kesepakatan ini, para pihak menyepakati keberlangsungan operasi Freeport Indonesia hingga tahun 2041 dengan mekanisme yang akan didetailkan lebih lanjut. Tercapainya kesepakatan ini, kata Freeport, akan menguatkan kemitraan yang telah terjalin antara Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan selaku pemegang saham Freeport Indonesia.
Freeport meyakini perpanjangan izin operasi akan memberikan jaminan bagi investasi bernilai miliaran dolar AS dan memberikan kepastian bagi seluruh pemegang saham Freeport Indonesia, karyawan, masyarakat Papua, pemasok dan kontraktor, serta seluruh pemangku kepentingan.
“Freeport-McMoRan tetap berkomitmen untuk kesuksesan PTFI,” kata Richard Adkerson, Presiden dan Chief Executive Officer Freeport-McMoran.
Perpanjangan operasi ini, kata Adkerson, akan meningkatkan manfaat secara signifikan bagi Pemerintah Indonesia di masa mendatang. Dengan kepastian investasi dan operasi hingga tahun 2041, dia memperkirakan manfaat langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada Inalum dapat melebihi US$60 miliar.
“Dalam lima belas tahun terakhir, Freeport Indonesia telah memulai proses transisi dari operasi penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah. Dalam proses tersebut, kami telah menginvestasikan sekitar US$6 miliar untuk mengembangkan tambang bawah dan berencana menambah investasi hingga miliaran dolar sebagai komitmen untuk memberikan manfaat bagi seluruh pemegang saham,” ungkap Adkerson.
Perjanjian Tidak Mengikat
Dalam keterangannya, manajemen Rio Tinto menyatakan Inalum dan Freeport-McMoRan telah menandatangani perjanjian tidak mengikat terkait dengan masa depan kepemilikan saham tambang Grasberg, Papua. Head of agreement itu merinci penjualan seluruh saham Freeport Indonesia yang dimiliki Rio Tinto kepada Inalum senilai US$3,5 miliar.
Secara terpisah, kata Manajemen Rio Tinto, perjanjian itu akan mengatur transaksi antara FCX dan Inalum dalam hal pembelian saham tambahan di tambang Grasberg, serta ketentuan tambahan terkait kepimilikan dan operasi di masa depan.
“Semua pihak telah berkomitmen akan menyetujui dan menandatangani perjanjian yang bersifat mengikat sebelum akhir semester II 2018,” ungkap manajemen Rio Tinto.
Mengingat persyaratan telah disepakati, kata Rio Tinto, maka tidak ada kepastian bahwa transaksi akan rampung. “Perjanjian final apapun harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah, regulator, dan otoritas,” ungkapnya.
Untuk diketahui, Inalum telah menandatangani pokok-pokok perjanjian dengan Freeport-McMoRan dan Rio Tinto terkait dengan divestasi saham Freeport Indonesia. Kepemilkan Inalum atas saham Freeport Indonesia setelah transaksi tuntas akan menjadi 51 persen dari sebelumnya 9,36 persen.
Penandatanganan head of agreement ini dilakukan oleh Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin dengan Presiden Direktur Freeport-McMoRan, Richard Adkerson, disaksikan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Empat poin utama dalam perjanjian tersebut di antaranya :
Pertama, divestasi saham sebesar 51 persen untuk kepemilikan peserta Indonesia, sesuai Kontrak Karya dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Kedua, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama 5 (lima) tahun.
Ketiga, stabilitas penerimaan negara sesuai Pasal 169 dalam UU Minerba, peralihan Kontrak Karya PTFI menjadi IUPK akan memberikan penerimaan negara yang secara agregat lebih besar daripada penerimaan negara melalui Kontrak Karya.
Keempat, perpanjangan operasi produksi 2 x 10 tahun, sesuai ketentuan perundang-undangan. Setelah PTFI menyepakati empat poin di atas, maka PTFI akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2 x 10 tahun hingga tahun 2041.
Kronologis perundingan antara Pemerintah dengan PTFI hingga saat ini :
Sumber : Kementerian ESDM