Bareksa.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin, 2 Juli 2018 kembali melemah di level Rp14.400. Kondisi dolar AS yang sedang dalam momentum kuatnya membuat sejumlah mata uang global turut mengalami pelemahan, tak terkecuali rupiah.
Kurs Rupiah terhadap Dolar AS
Sumber: Reuters
Mengutip Reuters, mata uang Garuda di pasar spot pada Selasa pagi, 3 Juli 2018, dihargai Rp14.375 per dolar AS atau melemah 0,31 persen dibandingkan penutupan pada akhir pekan lalu.
Alhasil secara year to date, mata uang Garuda telah terdepresiasi sekitar 5,95 persen terhadap dolar AS.
Menurut analisis Bareksa, ada sejumlah faktor yang menyebabkan mata uang Negeri Paman Sam begitu perkasa dalam beberapa waktu terakhir.
Tiga faktor tersebut antara lain:
1. Kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang cenderung agresif di bawah kepemimpinan Jerome Powell.
Sebagai informasi, pada tahun ini saja The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali ke level 1,75 - 2 persen yang terakhir pada pertemuan 13 Juni lalu.
Selain itu, diperkirakan akan adanya kenaikan suku bunga lagi oleh The Fed sebanyak 2 kali hingga akhir tahun nanti.
Tingkat Pengangguran AS (%)
Sumber: tradingeconomics
Langkah tersebut ditempuh The Fed mengingat ekonomi AS yang terus menunjukkan perbaikan dalam beberapa waktu terakhir.
Kondisi itu dapat dilihat dari sejumlah indikator perekonomian seperti tingkat pengangguran yang berada di bawah level 4 persen, atau tepatnya di level 3,8 persen pada Mei 2018 atau merupakan level terendah sejak 18 tahun terakhir.
Selain itu, kondisi manufaktur AS juga terlihat menunjukkan peningkatan di mana indeks manufaktur (PMI) yang dapat menggambarkan aktivitas ekonomi di suatu negara pada Mei berada di level 58,7. Angka tersebut meningkat 5,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menguatnya industri manufaktur dapat menjadi salah satu sinyal adanya penyerapan tenaga kerja yang semakin besar. Sekedar informasi, jika PMI di atas level 50, berarti sektor Industri berada dalam masa ekspansi dan jika PMI di bawah level 50, maka sektor industri dalam status resesi atau melambat.
Angka Inflasi AS (%)
Sumber: tradingeconomics
Faktor berikutnya adalah inflasi AS yang terus beranjak naik sejak awal tahun, di mana pada Mei 2018, inflasi negeri Paman Sam telah menyentuh level 2,8 persen. Angka itu bisa terus naik seiring dengan potensi perekonomian AS yang lebih kuat di bawah Presiden Donald Trump.
2. Tensi perang dagang antara AS dengan China dapat memberi pengaruh buruk bagi Indonesia.
Kondisi saling berbalas tarif antara kedua negara tersebut berpotensi membuat keduanya mencari pasar potensial baru untuk tujuan ekspornya, yang bisa saja Indonesia menjadi salah satu tujuan mereka, mengingat pola konsumsi masyarakat Indonesia yang cukup tinggi.
Sebagai contoh China, ekspor negara tersebut ke Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2018 mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2018, menunjukkan bahwa impor non migas Indonesia dari China mencapai US$18 miliar.
Angka itu Jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor Indonesia yang hanya US$10 miliar. Akibatnya Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga US$8 miliar.
Defisit perdagangan menggambarkan bahwa aliran valas yang keluar dari Indonesia jauh lebih besar dibandingkan valas yang masuk. Hal itu mengakibatkan rupiah menjadi tertekan dikarenakan pasokan dolar AS dalam negeri berkurang.
3. Tren kenaikan harga minyak mentah dunia dalam beberapa waktu terakhir yang membebani Indonesia.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor "emas hitam" ini masih cukup tinggi terutama guna memenuhi konsumsi domestik. Rata-rata produksi minyak dalam negeri masih berada di kisaran 800 ribu barel per hari.
Sementara menurut Pertamina dalam rapat di Komisi VII DPR RI pada 19/3/2018 menyatakan, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 1,6 juta barel per hari. Dengan defisit ini tentu mewajibkan Indonesia untuk impor minyak.
Pergarakan Harga Minyak Mentah Dunia (US$)
Sumber: Reuters
Pada perdagangan kemarin, harga minyak jenis light sweet khususnya masih berada di atas level US$70 per barel. Sementara asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2018 hanya US$48 per barel.
Adanya selisih tersebut bukan hanya membebani APBN, namun juga menguras cadangan devisa negara yang akhirnya menyebabkan persediaan dolar AS semakin tergerus.
(AM)