Bareksa.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menegaskan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berlangsung begitu cepat pada akhir-akhir ini, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kondisi saat masa krisis 1998 maupun 2008 silam.
Hal tersebut dikemukakan Agus Marto usai menyambangi kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (21 Mei 2018). Menurut Agus, kondisi saat ini sudah jauh berbeda dari 10 atau 20 tahun lalu ketika terjadi krisis, seperti yang dilansir dari CNBC.
Secara umum, BI menilai bahwa sejumlah indikator perekonomian domestik masih menunjukkan kondisi stabil. Bagi BI, kondisi perekonomian saat ini, termasuk pelemahan rupiah yang terjadi begitu cepat tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
Sekedar informasi, depresiasi mata uang Garuda terhadap greenback terbilang begitu cepat dalam kurun waktu satu minggu terakhir.
Sumber: Bank Indonesia, diolah Bareksa
Pada Senin pekan lalu, nilai tukar rupiah masih berada di bawah Rp14.000/US$, tepatnya di level Rp 13.976/US$ dan terpantau terus merangkak naik dalam seminggu terakhir hingga kemarin posisi rupiah telah berada di level Rp14.176/US$ atau telah terdepresiasi 1,43 persen dalam waktu kurang dari sepekan.
Kenaikan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin (0,25 persen) ke 4,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur Kamis lalu sepertinya belum terlalu ampuh untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Sentimen eksternal, yaitu laju penguatan mata uang Negeri Adidaya ternyata lebih dominan dalam mewarnai pergerakan mata uang Tanah Air.
Masih Lesu
Sedikit meninjau ulang, sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak memberi pertanda untuk menaikkan, sebelum pernyataan Gubernur BI pada akhir April, membuat modal asing terus keluar (capital outflow) karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Akhirnya, saat kenaikan suku bunga benar-benar dilaksanakan, semua terlihat cenderung terlambat.
Selain itu, investor juga tampaknya menganggap kenaikan suku bunga acuan justru berpotensi menekan perekonomian dalam negeri yang sebenarnya belum pulih. Lebih lanjut, pelemahan rupiah yang semakin menjadi-jadi telah menimbulkan persepsi bahwa BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan berikutnya. Kenaikan sebesar 25 basis poin (0,25 persen) lagi akan sangat mungkin ikut mengerek suku bunga kredit naik.
Adapun yang menjadi masalah, penyaluran kredit saat ini masih terlihat lesu. Dalam kondisi suku bunga acuan yang lebih rendah seperti kemarin saja pertumbuhan kredit baru di kisaran 8,5 persen di kuartal pertama tahun ini. Jika suku bunga kredit naik, maka konsumen dan pelaku usaha akan dua kali sebelum mengajukan pinjaman ke bank. Akibatnya, profitabilitas bank menjadi hal yang dipertaruhkan di sini.
Saham-saham sektor keuangan pun telah merespon negatif pergerakan nilai tukar yang melemah begitu cepat dalam sepekan terakhir. Indeks sektor keuangan di Bursa Efek Indonesia tercatat telah turun mencapai 6,88 persen dalam periode 14 Mei hingga 21 Mei.
Hal tersebut lantas sangat mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), mengingat saham sektor keuangan (khususnya bank-bank buku IV) memiliki nilai kapitalisasi pasar yang besar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Oleh karena itu, apabila mereka turun, tentu akan sangat memberatkan serta menekan pergerakan IHSG. (hm)