PLN Rugi Rp6,49 Triliun, Apa Dampak ke Emiten Pemasok Batu Bara Seperti PTBA?

Bareksa • 07 May 2018

an image
Sejumlah kapal yang membawa batu bara melintasi Sungai Mahakam, Samarinda, Minggu (31/12). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan target produksi batubara tahun 2018 sebesar 477 juta ton akan melampaui target produksi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

PLN meminta harga batu bara US$60 per metrik ton untuk batas bawah dan batas atas US$70 per metrik ton

Bareksa.com - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatatkan kerugian hingga Rp6,49 triliun periode Januari – Maret 2018, dibandingkan laba bersih Rp510 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya.

Padahal dari sisi pendapatan perusahaan naik 9,4 persen menjadi Rp62,9 triliun dari sebelumnya Rp57,5 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan tercatat bahwa kinerja bottom line sangat buruk dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan harga batu bara disinyalir menjadi salah satu yang menekan kinerja perusahaan listrik milik negara ini.

Jika dilihat lebih rinci, batu bara merupakan yang paling mendominasi di bagian beban usaha. Meruginya perusahaan di tengah kenaikan pendapatan tidak terlepas dari tingginya harga batu bara saat ini di pasar global.

Sejak 2016 harga batu bara di pasar terus meningkat yang disebabkan oleh banyak aspek, salah satunya ialah ketegangan geopolitik yang terjadi, baik di Rusia, Cina, AS, hingga kawasan Timur Tengah.

Di awal 2018, harga batu bara global bahkan sempat menembus US$100 per metrik ton, berbeda dengan tahun sebelumnya.

Hal tersebut tentu berdampak terhadap beban biaya PLN yang semakin membengkak, khususnya di kuartal I 2018.

Beban Biaya Batu Bara PLN 5 Tahun Terakhir

Sumber : PLN, diolah Bareksa

Beban batu bara PLN pada kuartal I 2018 melonnjak hingga 73 persen, dari Rp8,2 triliun menjadi Rp14,2 triliun.

Dengan asumsi biaya-biaya lain tetap ditambah dengan adanya pengurangan subsidi dari Pemerintah terhadap PLN, sangat wajar jika perusahaan mencatat kerugian hingga Maret 2018 di tengah melonjaknya harga batu bara di awal tahun.

Di sisi lain, pemerintah berkomitmen tidak menaikkan tarif listrik tahun ini. Solusinya, PLN meminta pemerintah menetapkan patokan harga batu bara untuk dalam negeri (DMO). Perinciannya, US$60 per metrik ton untuk batas bawah dan batas atas US$70 per metrik ton.

Karena itu, pemerintah menetapkan batasan harga batu bara untuk kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) bagi pembangkit listrik, yang bertujuan utamanya untuk efisiensi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Penetapan harga ini tentu sangat berdampak bagi produsen batu bara yang memasok bagi PLN, di tengah tren penguatan harga di pasar global. 

Kisruh penetapan batasan harga batu bara DMO ini memukul performa harga saham emiten produsen komoditas tersebut.

Salah satu emiten yang terkena dampak paling besar adalah PT Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), yang hingga kuartal I 2018 tercatat sebagai emiten yang menjual batu bara terbesar kepada PLN, mencapai Rp1,5 triliun atau 71 persen dari seluruh penjualan batu bara yang mencapai Rp2,1 triliun.

Angka tersebut memiliki porsi yang besar jika dibandingkan perusahaan batu bara lain yang menjual kepada PLN.

PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) hanya menjual 25 persen, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sebesar 15 persen dan PT Indika Energy melalui Kideco sebesar 25 persen.

Porsi Penjualan Emiten ke PLN

Sumber : perseroan

Secara historikal sejak lima tahun terakhir PTBA telah menjual batu baranya kepada PLN lebih dari 50 persen.

Porsi Penjualan Ke PLN

Sumber: Laporan keuangan perusahaan

(AM)