BI : Rupiah Fluktuatif Terdampak Langsung Kebijakan Moneter AS

Bareksa • 08 Mar 2018

an image
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Selasa (22/8). Bank Indonesia (BI) akhirnya menurunkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate ke level 4,50 persen atau turun 25 bps dibandingkan bulan sebelumnya. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

AS tengah memasuki era peningkatan suku bunga dan rezim kebijakan fiskal yang lebih ekspansif

Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) menilai, dinamika nilai tukar rupiah saat ini merupakan dampak langsung dari kondisi ekonomi global yang terus mengalami pergeseran. Kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) tengah memasuki era peningkatan suku bunga dan rezim kebijakan fiskal yang lebih ekspansif.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W Martowardojo mengungkapkan, dampak dari kebijakan ekonomi AS tersebut berpengaruh terhadap perekonomian di seluruh negara, termasuk Indonesia. Hal ini tercermin pada dinamika pergerakan mata uang negara-negara di dunia.

"Namun demikian, BI meyakini dengan ketahanan perekonomian Indonesia saat ini, perekonomian Indonesia mampu menghadapi tantangan dari berbagai pergeseran ekonomi global tersebut," ujarnya dalam keterangan tertulis seperti dikutip Kamis, 8 Maret 2018.

Agus menyatakan BI akan selalu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI secara konsisten dan berhati-hati merespons dinamika pergerakan nilai tukar rupiah yang sedang berlangsung untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga, sehingga keberlangsungan pemulihan ekonomi dapat berlanjut.

"Respons BI ditempuh untuk mengelola dan menjaga fluktuasi (volatilitas) nilai tukar rupiah agar tetap sejalan dengan kondisi fundamental makroekonomi domestik, dengan juga memperhatikan dinamika pergerakan mata uang negara lain," kata dia.

Indikator Ketahanan Ekonomi Indonesia

Agus mengungkapkan berbagai indikator telah mencerminkan perbaikan ketahanan ekonomi Indonesia, seperti inflasi dalam tiga tahun terakhir terus menurun dan senantiasa dapat dijaga pada kisaran sasarannya. Inflasi sampai dengan Februari 2018 tetap terkendali sebesar 0,79 persen (ytd) dan 3,18 persen (yoy). Sampai dengan akhir 2018, inflasi diperkirakan akan berada di kisaran sasaran 3,5 persen ± 1 persen.

"Kemudian, defisit neraca transaksi berjalan semakin menurun dan berada dalam tingkat yang sehat sebesar 1,7 persen dari PDB pada 2017," terang dia.

Sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik yang tengah berlangsung, impor bahan baku diperkirakan terus meningkat, sehingga pada Februari 2018 diperkirakan masih terjadi defisit neraca perdagangan, meskipun lebih rendah dibandingkan Januari 2018.

Meskipun neraca perdagangan di Februari 2018 mengalami defisit, BI memperkirakan secara keseluruhan tahun 2018 defisit neraca transaksi berjalan tetap sehat di kisaran 2,1 persen dari PDB, sejalan dengan dinamika pemulihan ekonomi domestik yang tengah berlangsung.

Kondisi fiskal dalam kondisi yang semakin sehat, didukung oleh kebijakan pemerintah yang sesuai prinsip kehati-hatian (prudent) dan konsisten, serta reformasi struktural yang tengah berjalan dengan sangat baik untuk meningkatkan daya saing perekonomian.

Perbaikan Rating

Persepsi terhadap kinerja ekonomi Indonesia, kata Agus, juga cenderung membaik. Hal ini terlihat dari sovereign credit rating Indonesia yang terus membaik. Selain itu, persepsi risko investor juga membaik, terlihat dari risk premium Currency Default Swap (CDS) untuk tenor 5 tahun yang cenderung membaik.

Ketahanan cadangan devisa saat ini jauh lebih kuat, tercermin dari posisi cadangan devisa Januari 2018 yang mencapai US$131,98 miliar, tertinggi dari yang pernah dicapai.

Menurut Agus, beberapa pengaturan yang telah dikeluarkan oleh BI, seperti kewajiban lindung nilai bagi utang luar negeri dan kewajiban penggunaan rupiah, juga telah dapat mengurangi permintaan valas yang berlebihan yang dipicu oleh meningkatnya ketidakpastian akibat faktor non-fundamental.

Berbagai perbaikan fundamental makroekonomi tersebut didukung oleh pasar valas domestik yang semakin likuid, sebagaimana tercermin dari terus meningkatnya volume harian transaksi yang saat ini telah mencapai sekitar US$6 miliar dan mekanisme pasar yang lebih baik dan efisien.

"BI akan tetap berada di pasar secara terukur untuk mengawal terciptanya stabilitas Rupiah sehingga kepastian dan keyakinan masyarakat terhadap perekonomian nasional tetap terjaga dengan baik," ungkap Agus. (K09/AM)