Bareksa.com - Industri perbankan di Jepang terancam akibat sejumlah alasan. Bank-bank besar ternama di Jepang pun terpaksa harus menutup sejumlah kantor cabang demi bertahan hidup.
Berdasarkan artikel yang ditulis di Nikkei Asian Review, tiga bank terbesar di Jepang telah mengumumkan rencana untuk menutup kantor cabang, menghapus ribuan posisi pekerjaan dan mengenalkan sistem otomasi yang lebih canggih. Bahkan, seorang eksekutif senior mengatakan industri perbankan di Jepang sedang mengadapi "krisis diam-diam."
Setidaknya ada beberapa alasan yang mengancam hidup perbankan di Jepang. Pertama, nasabah sudah mulai enggan pergi ke bank untuk melakukan transaksi secara offline. Mereka lebih memilih menggunakan anjungan tunai mandiri (ATM) atau melakukan transaksi secara mobile. Apalagi, kantor cabang bank konvensional buka hanya pada jam kerja yang membuat orang semakin malas pergi ke sana.
Di Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, yang merupakan bank terbesar di Jepang, jumlah nasabah yang mendatangi bangunan kantor cabangnya sudah turun 40 persen dalam dekade terakhir. Sementara itu, jumlah pengguna internet banking melonjak 40 persen dalam lima tahun terakhir.
Alasan kedua, kondisi suku bunga rendah dan pertumbuhan yang rendah juga menjadi ancaman bagi masa depan perbankan Jepang. Populasi di Jepang semakin menurun, sehingga pertumbuhan nasabah pun bisa diperkirakan menjadi negatif. Pada saat yang sama, jumlah kantor cabang di Jepang tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir, yakni di kisaran 13.500 cabang.
Dengan kondisi tersebut, jumlah bank yang sudah berdiri saat ini dianggap terlalu banyak karena tidak sesuai dengan pertumbuhan jumlah nasabah. Dengan setiap kantor cabang yang biasanya diisi oleh sekitar 30 orang staff, mengurangi kantor cabang artinya mempersempit lapangan kerja yang sangat banyak.
Akibat kondisi tersebut, profitabilitas perbankan di Jepang pun semakin menurun. Dalam periode April-Desember 2017, laba inti dari lima bank terbesar di Jepang telah anjlok rata-rata 22 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, perusahaan Jepang di bidang industri lain justri menikmati keuntungan ekonomi yang mengalami pemulihan, hingga mencatat rekor laba.
Bagi bank, profitabilitas yang rendah artinya modal yang sedikit, atau rendahnya bantalan terhadap penurunan di masa depan. Menurut riset Moody's, return on asset (ROA) perbankan Jepang hanya sekitar 0,3 persen pada tahun fiskal 2016. Angka tersebut sangat rendah bila dibandingkan kondisi di negara maju lain seperti ROA sebesar 0,7 persen di Australia, 0,8 persen di Inggris, dan 1 persen di AS. Kondisi itu hanya kalah dibandingkan dengan di Jerman dengan ROA perbankan di kisaran 0,2 persen.
Pada Oktober 2017, Dana Moneter Internasional (IMF), membuat daftar sembilan bank global yang diperkirakan sulit untuk bertahan membuat profit. Tiga nama bank Jepang teratas, yakni Mizuho, Mitsubishi UFJ, dan Sumitomo Mitsui, masuk dalam daftar tersebut. (Lihat juga Apa Rencana BCA dan BNI Terkait Merger BTPN dan Bank Sumitomo?)
Selain laba yang memburuk, bank-bank Jepang juga menghadapi disrupsi teknologi, seiring pembiayaan konsumer semakin terjangkau dengan adanya teknologi mobile. Perusahaan konsultan AS KPMG memprediksi bahwa perusahaan teknologi global akan mendominasi perbankan di masa depan. Menurut laporan konsultan tersebut, pada 2030, bank diperkirakan hanya menangani peran di balik layar, seperti menciptakan produk keuangan, atau mengoperasikan dan menjaga infrastruktur transaksi besar sebagai sebuah utilitas.
Ancaman dari luar
Pada Januari 2016, Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda memperkenalkan suku bunga negatif untuk kelebihan kas yang diparkir bank di dalam bank sentral. Pada saat yang sama, BOJ memutuskan untuk mulai menentukan tingkat suku bunga yang telah 10 tahun dijaga di level 0 persen. Teorinya adalah perbankan akan terpaksa membuat dana menganggur mereka bekerja, dan mendorong proses ekonomi saat mereka terkena biaya bila hanya menyimpannya saja.
Kebijakan tersebut telah menggoyang model bisnis bank yang meminjamkan dengan bunga rendah dan berinvestasi pada tingkat keuntungan tinggi untuk mendapatkan marjin. Goncangan tersebut sangat sulit bagi perbankan di wilayah yang mengalami penurunan populasi dan potensi pinjaman menjadi semakin sulit.
Tekanan tidak hanya dari suku bunga negatif, akan tetapi juga dari luar negeri. Pada abad ke 19, tekanan datang dari ancaman kolonial Barat dengan kapal hitam. Pada abad ke 21, tekanan datang justru dari China.
Afiliasi dari raksasa e-commerce asal China Alibaba Group, ANT Financial Services Group, mengoperasikan layanan Alipay. Layanan ini memungkinkan pengguna melakukan transaksi pembayaran dengan hanya sebuah telepon seluler. Pertumbuhan kencang Alipay telah membuat para bankir Jepang panik.
Seperti di Jepang, mobile payment sebelumnya tidak ada di China pada 2013. Namun, pada 2016, layanan ini datang dengan nilai US$3 triliun, dengan Alipay dan rival besarnya WeChat Pay milik Tencent Holdings, mendominasi industri.
Ancaman juga tidak berhenti di sana. Ant Financial kini juga menawarkan layanan tabungan, investasi, pinjaman, asuransi dan kartu kredit virtual. Bisnis ini pun menjadi semacam komnglomerasi keuangan. Anak usaha di bidang investasinya, yakni Yu'e Bao telah menarik 1,58 triliun yuan (setara US$250 miliar) dana dari perorangan pada akhir 2017. Produk investasi ini menawarkan 370 nasabahnya layanan tabungan dengan return hingga lebih dari 4 persen pada tahun lalu, jauh lebih tinggi dibandingkan suku bunga deposito yang ada di China.
Sekarang, Alipay terus berekspansi ke luar negeri untuk terus tumbuh. Ant Financial sudah bermitra dengan berbagai operator layanan pembayaran mobile di India, Korea Selatan, Thailand, dan Filipina, kini pun mulai menyasar Jepang. Alipay menawarkan masa depan bagi penggunanya agar bisa berbelanja di mana saja di Asia hanya dengan satu akun Alipay saja.