Bareksa.com – Direktorat Jenderal Pajak masih mefinalisasi rencana pengenaan pajak kepada transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce). Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih mematangkan skema dan sistem aplikasi agar terhubung dengan sistem e-commerce.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama menuturkan, saat ini pihaknya sudah berkomunikasi dengan para pelaku e-commerce. Pihaknya untuk fokus dahulu pada pengenaan pajak untuk perdagangan melalui marketplace dahulu.
“Mereka meng-address pengenaan pajak di media sosial atau channel lain yang belum bisa kita selesaikan semua. Kita matangkan (pajak untuk) marketplace dulu,” katanya di Jakarta, Senin, 19 Februari 2018.
Menurut Yoga, Ditjen pajak tengah mematangkan skema dan sistem aplikasinya. Hal itu dilakukan karena penyedia marketplace memiliki aplikasi, sehingga perlu ada sistem yang dapat menghubungkan kedua pihak.
Di sisi lain, pelaku industri e-commerce masih mempermasalahkan tentang perpajakan untuk perdagangan yang menggunakan media sosial dan channel lainnya. Akan tetapi, Ditjen Pajak akan fokus kepada industri marketplace terlebih dahulu.
Dalam mefinalisasi perpajakan e-commerce, Ditjen Pajak bekerja sama dengan Bea Cukai.
Sejauh ini, pembahasan aturan pajak e-commerce masih menunggu data jumlah pelaku yang berdagang secara elektronik dan Asosiasi e-commerce Indonesia. Data tersebut nantinya akan diserahkan kepada Badan Pusat Statistik (BPS).
Usai diterima BPS, proses pembuatan peraturan pajak e-commerce bakal dilanjutkan ke tahap analisa daftar pelaku e-commerce serta melengkapi komponen yang harus disertakan dalam peraturan agar ketentuan yang diterbitkan tidak berat sebelah.
Saat ini, Ditjen Pajak masih belum bisa mengungkapkan kemungkinan pengenaan pajak e-commerce. “Pengenaan pajaknya nanti kita lihat, belum bisa detil,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah memastikan akan menerapkan aturan perpajakan terkait dengan perdagangan elektronik atau e-commerce termasuk perlakuan fiskal terhadap barang tak berwujud atau intangible goods. Barang tak berwujud ini mencakup piranti lunak, buku elektronik, film, dan beberapa jenis barang lainnya yang biasanya dijual di toko online atau melalui website.
Nantinya, perlakuan fiskal terhadap barang tak berwujud akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang E-Commerce atau Dagang Elektronik. Adapun selama ini pengenaan bea barang masuk tak berwujud seperti piranti lunak, buku elektronik, film, dan beberapa jenis barang lainnya tidak dikenakan karena terkendala moratorium dari WTO.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara melihat bahwa transaksi di industri e-commerce memang sangat potensial, seiring pergeseran cara berbelanja yang sebelumnya lebih didominasi secara offline atau mendatangi pertokoan kini telah bergeser menjadi online atau melalui dunia maya. Bahkan, perkembangan belanja online juga mengalami pergeseran seiring dengan kecanggihan teknologi.
Rudiantara optimis nilai e-commerce Indonesia bisa mencapai US$130 miliar di tahun 2020 mendatang, atau menjadi 10 kali lipat lebih dalam waktu lima tahun. Oleh karena itu, dia memberikan dukungan untuk menjadikan transaksi e-commerce termasuk intangible goods sebagai obyek penerimaan negara. Optimalisasi penerimaan negara ini menjadi baik guna menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia. (Lihat VIDEOGRAFIK : Data Ini Tunjukan Lonjakan Transaksi e-Commerce) (hm)