Nilai Investasi Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Akan Capai Rp117 Triliun

Bareksa • 16 Jan 2018

an image
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (ketiga kiri) didampingi Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono (kanan) bersama Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (kedua kiri) meninjau proses produksi obat PT Ethica Industri Farmasi di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Jawa Barat, Selasa (16/1). (doc: Kemenperin)

Angka tiga industri itu menyumbang 33 persen terhadap target investasi di manufaktur

Bareksa.com - Kementerian Perindustrian menargetkan nilai investasi di sektor industri kimia, tekstil, dan aneka (IKTA) pada tahun 2018 akan mencapai Rp117 triliun atau naik dari realisasi tahun 2017 yang diperkirakan menembus angka Rp94 triliun. Proyeksi penanaman modal dari sektor IKTA tahun ini bakal menyumbang sekitar 33 persen terhadap target investasi secara keseluruhan pada kelompok manufaktur nasional sebanyak Rp352 triliun.

“Industri farmasi serta produk obat kimia dan tradisional akan memberikan kontribusi pertumbuhan paling tinggi di sektor IKTA pada tahun ini, yakni mencapai 6,38 persen,” kata Dirjen IKTA Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, Selasa, 16 Januari 2018.

Menurut Sigit, Kemenperin tengah memprioritaskan pendalaman struktur industri farmasi nasional terutama di sektor hulu atau produsen penyedia bahan baku obat. Upaya strategis ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.

“Oleh karenanya, pemerintah telah menyediakan beberapa insentif fiskal seperti tax allowance dan tax holiday guna menarik investasi dan memacu pelaku industri farmasi mengembangkan pabrik bahan baku di Indonesia,” paparnya.

Sigit mengungkapkan, Indonesia berpotensi unggul apabila mengembangkan sektor industri farmasi, herbal, dan kosmetika karena memiliki sumber daya alam yang mampu mendukung proses produksinya. Terlebih lagi, Indonesia akan berkerja sama dengan Singapura dalam penetapan standar dan keamanan pangan termasuk juga produk herbal agar bisa lebih berdaya saing di tingkat global.

Selain itu, didukung pula melalui program yang sedang gencar dilaksanakan oleh Kemenperin, yaitu pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kompetensi untuk menciptakan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan dunia industri. “Apalagi, dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga membuat investasi di sektor ini menarik dan berbagai proyek masih jalan terus,” imbuhnya.

Kemenperin mencatat, beberapa perusahaan farmasi dan bahan baku obat yang telah menggelontorkan dananya untuk investasi di Indonesia, antara lain PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia senilai Rp132,5 miliar dan PT Ethica Industri Farmasi sebesar Rp1 triliun. Sementara itu, di sektor kosmetika, adanya perluasan pabrik PT Unilever Indonesia dengan nilai investasi mencapai Rp748,5 miliar.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebutkan industri farmasi menjadi salah satu subsektor yang diharapkan berkontribusi signifikan untuk mencapai target pertumbuhan industri pengolahan nonmigas tahun 2018 yang telah ditetapkan sebesar 5,67 persen. “Industri farmasi telah mampu menyediakan 70 persen dari kebutuhan obat dalam negeri,” ungkapnya.

Bahkan, nilai pasar produk farmasi ke ASEAN mencapai US$4,7 miliar atau setara dengan 27 persen dari total pasar farmasi di ASEAN. “Ini menjadi peluang cukup besar bagi industri farmasi dalam negeri untuk lebih mendominasi pasar domestik atau ekspor,” lanjut Menperin.

Airlangga meyakini, dengan adanya investasi di sektor industri akan tercipta efek berantai seperti penyediaan lapangan kerja baru serta peningkatan nilai tambah dan penerimaan devisa dari ekspor. “Oleh karena itu, sektor industri menjadi penunjang utama dari target pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.

Menperin pun menyatakan, pihaknya bersama pemangku kepentingan terkait terus bersinergi untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi di sektor industri, antara lain melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kepastian hukum, penggunaan teknologi terkini untuk mendorong peningkatan mutu, efisiensi dan produktivitas, serta pemberian fasilitas berupa insentif fiskal.

Selanjutnya, didukung dengan ketersediaan bahan baku, harga energi yang kompetitif, sumber daya manusia (SDM) kompeten, serta kemudahan akses pasar dan pembiayaan. “Pertumbuhan konsumsi juga perlu dijaga dan kembali ditingkatkan agar permintaan terhadap produk-produk industri semakin meningkat,” tutur Airlangga. (hm)