Bareksa.com – BPJS Kesehatan masih menanggung kerugian demi target pemerintah untuk menjamin dan melindungi seluruh rakyat Indonesia. Ada dua hal utama yang menjadikan badan penyelenggara jaminan kesehatan publik ini terus mencatatkan defisit.
Kementerian Keuangan mencatat, defisit BPJS Kesehatan pada tahun 2017 sebesar Rp7,8 triliun. Artinya, angka itu lebih rendah dari proyeksi awal yang diperkirakan hingga Rp9 triliun. Namun, angka defisit itu telah ditutup pemerintah, yaitu sekitar Rp3,6 triliun diberikan dari APBNP 2017 dan Rp4,2 triliun diberikan sebagai bantuan Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Kondisi defisit keuangan tahun 2017 tersebut lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya yang masih mencatatkan surplus sebesar Rp200 miliar. Defisit terjadi karena penerimaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan klaim (dilihat dari pos beban jaminan kesehatan dalam laporan aktivitas kas).
Pada laporan keuangan 2014, defisit tercatat Rp4,1 triliun dan hingga akhir tahun 2017 terus mencatatkan peningkatan defisit menjadi Rp7,8 triliun menurut data Kemenkeu.
Grafik : Perbandingan Penerimaan Iuran dan Beban BPJS (Rp Triliun)
Sumber : BPJS, diolah Bareksa
Sebagai informasi, BPJS menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang diresmikan oleh pemerintah sejak 2014. Saat ini, iuran BPJS Kesehatan per bulan untuk kelas 1 sebesar Rp80.000 per bulan, kelas 2 sebesar Rp51.000 per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp25.500 per bulan.
Menurut analisis Bareksa, setidaknya ada dua faktor membengkaknya defisit ini yang dapat mengancam keberlangsungan JKN. Pertama, alokasi subsidi dari pemerintah dinilai tidaklah mencukupi untuk menutup biaya pengobatan.
Kedua, membengkaknya klaim pengobatan disebabkan oleh kelompok peserta yang tidak memiliki gaji, tapi membutuhkan pengobatan mahal, misalnya pengobatan kanker dan operasi jantung. Selain itu, sebagian peserta juga berhenti membayar ketika tidak merasa perlu membutuhkan pengobatan.
Potensi membengkaknya defisit juga berasal dari harga obat-obatan yang dianggap masih cukup mahal dan memberatkan. Apalagi BPJS Kesehatan menerapkan metode INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups)--pembayaran dengan sistem paket--sehingga kenaikan harga obat-obatan yang masuk dalam paket INA-CBG dapat menaikkan nilai klaim.
Namun di luar itu, terus membengkaknya defisit Dana Jaminan Sosial seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah demi menjaga keberlangsungan program JKN dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
BPJS Kesehatan sendiri, tentu tidak mungkin terus-menerus menaikkan iuran kesehatan untuk menutup bolong itu, yang pada akhirnya bakal memberatkan masyarakat.
Perkembangan Cakupan Kepesertaan
Sumber : BPJS, diolah Bareksa
Hingga saat ini, jumlah peserta BPJS Kesehatan semakin meningkat. Per 2017, tercatat ada 187,98 juta peserta, meningkat dibandingkan sebelumnya 171,94 juta peserta pada tahun 2016. Defisit bisa terus berlangsung bila BPJS tidak melakukan perubahan dalam keuangannya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengatakan efisiensi dibutuhkan sebab BPJS Kesehatan tak berencana menaikkan iuran tahun 2018 untuk mencapai target pemerintah, yakni 250 juta rakyat Indonesia pada 2019 dapat mengakses program jaminan kesehatan dan seluruhnya terlindungi asuransi. (hm)