Bareksa.com - Komoditas menjadi penunjang utama realisasi nilai ekspor Indonesia Januari–November 2017 yang mencapai US$153,9 miliar atau meningkat 17,16 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenyataan ini terjadi seiring dengan adanya peningkatan permintaan dari negara tujuan yang akhirnya mempengaruhi kenaikan harga.
Bagi Indonesia, kontribusi komoditas bagi realisasi ekspor seperti pisau bermata dua. Kenaikan harga membuat perusahaan berbasis komoditas berlomba-lomba mengalihkan penjualannya ke ekspor, tapi lain halnya jika harga komoditas turun. Tentu saja banyak perusahaan enggan menanggung beban besar yang akan menggerus margin laba saat harga komoditas turun. (Baca : Cadangan Devisa Tertinggi dalam 17 Tahun Terakhir Bakal Jaga Rupiah di 2018)
Seperti yang pernah disampaikan Head of Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia, Teddy Oetomo. Teddy pernah menyampaikan, Indonesia masih mampu mencetak pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen, bahkan saat harga komoditas anjlok tajam belakangan ini.
Menurut Teddy, data menunjukkan kemampuan Indonesia untuk mencetak pertumbuhan ekonomi jauh di atas 5,5 persen, seperti di 2006 hingga 2012 (kecuali pada 2009 dikarenakan krisis global), perlu ditunjang dengan ekspor yang mapan, dan sebagian besar ekspor Indonesia adalah komoditas. (Lihat : Ini Penyebab Cadangan Devisa Pada November 2017 Turun Jadi US$125,9 Miliar)
Meski begitu, lanjut Teddy, kontribusi dari ekspor terhadap pertumbuhan bukan hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung. Sebab pertumbuhan ekspor yang mapan mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat yang kemudian juga menjadi faktor penunjang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan terbesar ekspor nonmigas pada November 2017 terhadap Oktober 2017 terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$152,3 juta (8,04 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$133,5 juta (28,55 persen). (Baca : Bank Dunia : Ekonomi Indonesia 2018 Diproyeksi Kuat Karena Dua Hal Ini)
Menurut sektornya, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari– November 2017 naik 14,25 persen dibanding periode yang sama di 2016. Demikian juga ekspor hasil pertanian naik 11,4 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya naik 34,38 persen.
Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia November 2017
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tantangan Ekonomi Indonesia
Kontribusi ekspor komoditas tidak hanya menjadi kabar gembira, melainkan juga bisa berdampak buruk. Hal ini sempat mendapat perhatian khusus Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo. Agus mengungkapkan salah satu tantangan yang harus dihadapi perekonomian Indonesia adalah masih bergantungnya kinerja ekspor pada komoditas. (Lihat : Jelang Tahun Pemilu, Jokowi Minta Dunia Usaha Tidak Wait and See)
Menurut Agus, pangsa ekspor terkait komoditas ini lebih dari 50 persen. Sedangkan ekspor produk manufaktur belum menunjukkan perbaikan signifikan. Hasilnya, ketergantungan pada ekspor komoditas ini memengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Misalnya Sumatera yang kaya akan minyak dan gas alam (migas) mengalami tekanan pada semester I 2017 akibat masih rendahnya harga minyak. (Baca : Manulife Proyeksikan IHSG Tahun Depan Tembus 7.000)
Harapan dari Ekspor Manufaktur
Ekspor Indonesia memang masih mengandalkan komoditas mentah. Akibatnya, semua tergantung pada outlook harga komoditas. Namun menurut Ekonom Senior Bank Mandiri, Andry Asmoro, seiring dengan ekspektasi pemulihan pertumbuhan Amerika Serikat yang lebih tinggi, maka ekspor Indonesia yang berbasis manufaktur juga diharapkan membaik.
“Overall, ekspor memang akan membaik. Namun biasanya peningkatan ekspor manufaktur akan diikuti dengan kenaikan impor karena masalah bahan baku,” kata Andry kepada Bareksa, Rabu, 20 Desember 2017. (Lihat : 30 Persen IUP Tambang Belum Clear and Clean, KPK Siap Blokir)
Pada intinya, lanjut Andry, pertumbuhan ekspor Indonesia seharusnya lebih didukung oleh ekspor yang berbasis manufaktur karena nilai tambahnya besar. Dengan begitu, jika hanya mengekspor komoditas mentah maka nilai tambah bagi perekonomian domestik tidak besar. “Namun untuk mendongkrak nilai ekspor, kenaikan ekspor komoditas masih dibutuhkan saat ini,” tambahnya.
Daya Beli Masyarakat
Dalam laporan berjudul “Indonesia in 2018/19: Higher gear? Ekonom DBS Group Research, Gundy Cahyadi, memaparkan membaiknya sektor komoditas yang terjadi beberapa waktu terakhir tidak berdampak langsung terhadap pendapatan masyarakat. Kemampuan beli, terutama di masyarakat kelompok bawah masih rendah. (Baca : Jokowi Sebut Ekonomi Indonesia Bertransformasi dari Komoditas ke Pelayanan)
Seperti terlihat dari konsumsi barang non-pokok atau discretionary goods masyarakat yang turun menjadi 4,5 persen, jauh di bawah kondisi tiga tahun lalu sebesar 6 persen. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih tinggi jika pertumbuhan konsumsi discretionary goods masyarakat lebih tinggi,” kata Gundy.
Kenyataannya, Indonesia tidak seperti negara-negara lain, karena tidak mengambil keuntungan dari tumbuhnya permintaan produk manufaktur global. Ekspor Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh 49 persen, minyak sawit mentah 44 persen, dan migas 21 persen. Sementara ekspor produk manufaktur hanya tumbuh 2,5 persen. (Lihat : Dapen Kanada dan AS Bakal Masuk Proyek Tol dan Pembangkit Listrik Tahun Depan)
Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk komoditas. Ini dilakukan dengan menerbitkan 16 paket reformasi kebijakan dalam dua tahun terakhir. Terbukti, peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business yang dirilis Bank Dunia meroket dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 72 pada 2018.
Investasi asing langsung ke sektor manufaktur pun mencatat rekor tertinggi sebesar US$16,6 miliar pada 2016. Investor tidak lagi menjadikan sektor pertambangan sebagai tujuan investasinya, melainkan sektor permesinan dan elektronik. (Baca : BNP Paribas Memprediksi IHSG Tahun Depan Tembus 6.600)
Dari sisi inflasi, tekanannya diperkirakan cenderung stabil terutama yang disebabkan harga bahan makanan. Ini seiring upaya pemerintah memperbaiki jalur distribusi, sehingga disparitas harga antar daerah berkurang. Adapun risiko inflasi terbesar berasal dari kenaikan harga minyak mentah, terutama di sektor transportasi dan listrik yang menyumbang sekitar 25 persen terhadap Indeks Harga Konsumen.
DBS Group Research memprediksi inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) akan mencapai 4 persen dan 4,5 persen di tahun 2018 dan 2019. (AM) (Lihat : PDB Indonesia di Bawah Ekspektasi Meski Investasi Tumbuh Tinggi)