Bareksa.com - Pemerintah Indonesia mengambil sikap atas perlakuan sejumlah negara Eropa terhadap hasil produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Pernyataan tegas dikeluarkan oleh pemerintah menyusul sikap negara anggota Uni Eropa yang menjadi sentimen negatif bagi CPO Indonesia.
Indonesia meminta agar diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit dihentikan, seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada KTT ASEAN - Uni Eropa pada 14 November 2017 di Manila. Indonesia, bersama dengan Malaysia, juga membuat pernyataan bersama yang intinya memprioritaskan isu tersebut.
"Perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit merupakan sektor kunci pencapaian sustainable development goals (SDGs) di Indonesia, termasuk untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan pembangunan. Oleh karena itu, Indonesia sangat prihatin dengan sikap diskriminatif Uni Eropa terhadap sawit Indonesia," tegas Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar dalam briefing kepada para Duta Besar Negara-Negara Uni Eropa di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, 28 November 2017.
Menurut CPOPC, sejumlah langkah diskriminatif oleh negara-negara Uni Eropa adalah:
1. Langkah anti-dumping dan subsidi yang mengada-ada dan tidak memiliki argumentasi dan bukti yang jelas;
2. Langkah oleh institusi Eropa, termasuk Parlemen Eropa, yang paling keras menyuarakan diskriminasi itu, antara lain ditunjukkan dengan resolusi tanggal 4 April 2017 tentang Sawit dan Deforestasi; dan posisi Komisi Lingkungan Parlemen Eropa yang melarang sawit digunakan untuk biofuel di Eropa mulai tahun 2021;
3. Amsterdam Declaration, yang apabila diadopsi sebagai kebijakan oleh Uni Eropa atau negara-negara penandatangan merupakan kebijakan diskriminasi karena tidak diterapkan secara adil terhadap minyak nabati dalam negeri Eropa;
4. Beberapa kajian Komisi Eropa yang sangat mengkritisi sawit, namun tidak memperlakukan sama dengan minyak nabati produksi domestik Eropa;
5. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang tentu saja dapat menemukan satu-dua kesalahan di negara sebesar dan seluas Indonesia, namun sama sekali tidak melihat konteks dan kebijakan Pemerintah untuk mengatasinya;
6. Kampanye negatif pemasaran oleh berbagai perusahaan seperti yang dilakukan maskapai penerbangan KLM yang tidak mau menerima produk yang mengandung sawit;
7. Berbagai merek dagang yang menyebutkan "produk bebas sawit."
Manhendra juga menjelaskan posisi negara-negara produsen sawit adalah melihat komoditas ini sebagai satu-satunya minyak nabati berkelanjutan. Sebab, bila tidak ada sawit, maka kebutuhan dunia akan munyak nabati harus digantikan oleh luas lahan pertanian rapeseed sampai 10 kali lebih besar atau luas lahan pertanian kedelai sampai 5 kali lebih besar karena produktifitas kedua komoditas saingan sawit itu hanya 1/10 dan 1/5 sawit.
"Artinya konversi lahan alam atau lahan lainnya di masa depan akan jauh lebih luas daripada yang ada sekarang," kata Mahendra.
Selain itu, ditinjau dari segi keterjangkauan harga, maka tanpa sawit kebutuhan nutrisi bagi penduduk dunia khususnya di negara-negara berkembang untuk mencapai SDGs akan semakin sulit dicapai. Dalam konteks itulah program replanting dan peningkatan produktivitas petani kecil sawit sangat strategis.
"Karena dengan menggunakan luasan lahan yang sama, maka produksi sawit dapat meningkat terus untuk memenuhi peningkatan permintaan, sekaligus meningkatkan kesjahteraan para petani dan perekonomian di daerah-daerah yang kebanyakan jauh dari pusat-pusat pertumbuhan."
Baca juga Valuasi Saham CPO Terendah 8 Tahun, Bagaimana Potensinya?
Pada bagian akhir, Mahendra menyampaikan pula bahwa Presiden RI dan PM Malaysia menugaskan CPOPC untuk memantau dan melaporkan sikap dan posisi diskriminasi berbagai pihak di Uni Eropa itu.
Grafik: Pergerakan Harga CPO sepanjang November 2017
Sumber: Malaysia Palm Oil Council
Seiring dengan berbagai isu tersebut, harga komoditas ini memang turun tajam sejak awal bulan ini. Berdasarkan data di Malaysia Palm Oil Council, harga CPO terpantau turun 9,66 persen menjadi MYR2.563 per tanggal 29 November 2017, dibandingkan MYR2.837 pada 1 November 2017.