Bareksa.com - Rencana Bank Indonesia (BI) merilis aturan baru mengenai uang elektronik (e-money) terkait dengan biaya isi ulang (top up) mendapat sorotan luas masyarakat. Tak dapat dimungkiri, karena mewadahi transaksi uang dalam jumlah kecil, kebijakan ini akan sangat berdampak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah. Terlebih lagi transaksi pembayaran transportasi nasional diarahkan ke arah nontunai.
Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, menjelaskan bahwa pengenaan biaya top up uang elektronik tersebut perlu dilakukan. Sebab jika tidak, kemungkinan ketersediaan fasilitas top up uang elektronik akan terbatas. Karena itu, dia meminta agar masyarakat dapat memahami terkait wacana ini.
“Kalau kita tidak berikan kesempatan perbankan menambah biaya top up, nanti ketersediaan sarana pengisian akan terbatas,” ujarnya di Jakarta, baru-baru ini.
BI mencatat, jumlah uang elektronik yang beredar ada sebanyak 69.457.592 atau nyaris tembus 70 juta sampai dengan Juli 2017. Angka itu meningkat cukup signifikan dari posisi Desember 2016, yang sebanyak 51.204.580 kartu. (Baca juga : Top Up E-Money Dikenai Biaya? Pendapatan Komisi 4 Bank Ini Ternyata Cukup Besar)
Adapun dari sisi penerbit menurut catatan bank sentral ada 25 entitas antara lain Bank DKI, Bank Sumsel Babel, BCA, Bank CIMB Niaga, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank National Nobu, BNI, Bank Permata, Bank QNB Indonesia, BRI, PT Artajasa Pembayaran Elektronis, PT Dompet Anak Bangsa, PT Espay Debit Indonesia Koe, PT Finnet Indonesia, PT Indosat, PT Nusa Satu Inti Artha, PT Skye Sab Indonesia, PT Smartfren Telecom, PT Telekomunkasi Indonesia, PT Telekomunikasi Selular, PT Witami Tunai Mandiri, PT XL Axiata, PT Buana Media Teknologi dan PT Bimasakti Multi Sinergi.
Biaya Melalui Delivery Channel
Sebenarnya, dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/11/dksp tahun 2014, ketentuan terkait biaya top up sudah diatur. Dalam ketentuan tersebut disebutkan; biaya layanan yang dapat dikenakan oleh penerbit kepada pemegang, yaitu biaya layanan atas penggunaan uang elektronik seperti biaya penggantian media uang elektronik, biaya pengisian ulang (top up) melalui pihak lain atau delivery channel pihak lain, biaya tarik tunai, dan/atau biaya administrasi terhadap uang elektronik yang tidak digunakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut.
Artinya, biaya top up memang ada, namun hanya dikenakan yang melalui pihak lain atau delivery channel pihak lain. Pengaturan biaya top up sendiri cukup baik dalam rangka perlindungan konsumen. Rencana bank sentral untuk menetapkan biaya top up Rp 1.500-Rp 2.000 bakal mengunci tarif, sehingga besaran tarif tidak menjadi liar karena semua seragam. (Lihat juga : Menuai Kritik Masyarakat, Ini Alasan Bank Tarik Biaya Top Up Uang Elektronik)
Pelaporan ke Ombudsman hingga Protes YLKI
Meski demikian rencana yang dilontarkan BI ini mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak, bahkan berbuntut pelaporan ke Ombudsman Republik Indonesia karena dinilai berpotensi mencederai perlindungan konsumen.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras kebijakan BI yang rencananya bakal dirilis pada akhir September ini. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan, pengenaan biaya pada isi ulang e-money sangat tidak memikirkan kepentingan konsumen di saat pemerintah ingin mendorong program less cash society lewat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) segera cepat terlaksana.
“Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,” ujarnya lewat keterangan pers di Jakarta, Ahad, 17 September 2017.
Kritik YLKI bahkan ditindaklanjuti dengan pelaporan Gubernur BI ke Ombudsman. David Maruhum L Tobing, pengacara yang fokus pada isu perlindungan konsumen Indonesia melaporkan Gubernur BI karena diduga melakukan tindakan maladministrasi.
David menilai bahwa rencana kebijakan BI berupa pengenaan biaya isi ulang kartu elektronik alias e-Money berkisar antara Rp 1.500-2.000 mencerminkan keberpihakan pada pengusaha serta pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
“Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen,” kata David di Jakarta, Senin, 18 September 2017. (Baca : Menuju Transaksi Jalan Tol Non Tunai 100 Persen, Ini Langkah BI dan Pemerintah)
Dinilai Berpotensi Melanggar Pidana
Salah satu pertimbangan David adalah BI secara terang-terangan mendukung rencana pengelola jalan tol yang mewajibkan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik atau e-toll. Menurutnya, lewat elektronifikasi gardu tol dengan meniadakan moda pembayaran secara tunai diduga melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas maupun logam dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011.
Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran dan pelanggarannya diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000.
Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih membenarkan kalau pihaknya menerima pelaporan terhadap Gubernur BI yang dilaporkan oleh David Tobing. Ia menjelaskan, Ombudsman selalu memanggil pihak terlapor untuk dimintai klarifikasi. “Jika Kemudian dinilai tak cukup, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih mendalam,” ucapnya. (Baca : BI Larang Gesek Dua kali 57,8 juta unit Uang Elektronik di Kasir, Ini Ulasannya)
Sampai dengan berita ini dimuat, pihak bank sentral belum memberikan pernyataan resmi terkait pelaporan ke Ombudsman. Beberapa pejabat BI yang dihubungi untuk dimintai komentar pun seperti bungkam. (K15)