Bareksa.com – Pemerintah dan Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, pada Selasa, 29 Agustus 2017 lalu mengumumkan telah mencapai kesepakatan untuk divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia kepada Indonesia. Divestasi saham ini jadi satu dari empat butir kesepakatan yang dicapai, dalam perundingan antara pemerintah dan Freeport sejak Februari 2017 lalu.
Namun, kesepakatan divestasi 51 persen saham Freeport ini masih perlu pembahasan lebih lanjut. Pemerintah belum memutuskan siapa yang akan mengeksekusi saham Freeport tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, menyatakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), penawaran saham diprioritaskan pada pemerintah pusat, lalu ke pemerintah daerah bila pusat tidak berminat, kemudian prioritas berikutnya ke BUMN, BUMD, dan terakhir swasta nasional. Jadi ada penawaran berjenjang dari pemerintah pusat hingga swasta.
Perbedaan Metode Penghitungan Valuasi Saham
Saat ini pemerintah telah memegang 9,36 persen saham Freeport Indonesia. Sehingga untuk mencapai kepemilikan 51 persen saham, maka Pemerintah Indonesia masih harus mengakuisisi 41,64 persen saham perusahaan yang mengoperasikan tambang emas dan tembaga di Papua tersebut.
Hingga kini baik Freeport maupun pemerintah belum secara terbuka mengumumkan nilai penawaran maupun permintaan valuasi saham Freeport Indonesia menurut versi mereka.
Namun berdasarkan hasil kajian Center for Indonesia Taxation Analysis, disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport dalam menghitung valuasi sebagai dasar penawaran harga saham divestasi.
Berdasarkan kalkulasi versi Freeport, 100 persen saham Freeport Indonesia setara dengan US$ 15,9 miliar dengan mempertimbangkan nilai cadangan dengan masa kontrak hingga 2041. Angka itu setara Rp 208,8 triliun dengan kurs di pasar spot hari ini, 31 Agustus 2017, yang sebesar Rp 13.135 per dolar AS. Dari angka itu, maka nilai 51 persen saham Freeport Indonesia adalah US$ 8,11 miliar atau setara Rp 106 triliun. Sehingga 41,64 persen saham Freeport Indonesia setara US$ 6,62 miliar atau sekitar Rp 86,9 triliun.
Angka itu jauh di atas kalkulasi versi pemerintah. Berdasarkan kajian CITA, kalkulasi pemerintah atas 100 persen saham Freeport Indonesia adalah US$ 5,9 miliar atau Rp 77,5 triliun. Dari angka itu, nilai 51 persen saham Freeport Indonesia adalah US$ 3,01 miliar atau sekitar Rp 39,5 triliun. Sedangkan nilai 41,64 persen saham Freeport Indonesia dikalkulasi sebesar US$ 2,46 miliar atau setara Rp 32,3 triliun.
"Meski begitu, regulasi baru tidak memuat acuan penghitungan saham, melainkan hanya mengatur formulasi penentuan nilai saham divestasi berdasarkan harga pasar yang wajar," ujar Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo.
Menurut Yustinus, berdasarkan kajian CITA, jika nantinya saham Freeport Indonesia akan diakuisisi oleh holding badan usaha milik negara sektor tambang yang didalamnya ada PT Indonesia Asahan Aluminium, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), serta PT Timah Tbk (TINS), maka kurang feasible. Sebab dengan total piutang ketiga perusahaan (ANTM, PTBA, dan TINS) sebesar Rp 11,86 triliun per Desember 2016, maka sekuritisasi tiga perusahaan tidak akan feasible mendanai akusisi 51 persen saham Freeport Indonesia.
"Dengan asumsi harga buku sama dengan harga pasar," ujarnya.
Yustinus menyatakan dampak lainnya adalah kemampuan holding BUMN tambang untuk ekspansi di industri mineral lainnya menjadi terbatas dan resiko perusahaan juga meningkat.
Valuasi Saham Freeport McMoRan Inc
Sumber : Laporan keuangan Freeport, diolah Bareksa
Mengacu pada laporan keuangan Freeport-McMoRan per 31 Juni 2017, perusahaan tambang dengan kode saham FCX di Bursa Amerika Serikat ini mempunyai jumlah saham beredar (outstanding shares) sebanyak 1,44 miliar lembar.
Menurut analisis Bareksa, bila dihitung dengan metode menggunakan book value per share dengan membandingkan total ekuitas dengan jumlah saham beredar didapatkan nilai wajar sebesar US$ 6,9 atau 45 persen lebih rendah dibanding harga pasar saham saat ini yakni US$ 15,2 per lembar.
Dengan total ekuitas US$ 9,99 miliar atau setara Rp 131,15 triliun dengan kurs Rp 13.125 per dolar AS, maka 51 persennya akan didapatkan harga Rp 66,9 triliun.
Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding nilai valuasi 51 persen saham Freeport Indonesia versi Freeport-McMoRan yang senilai US$ 8,11 miliar atau setara Rp 106 triliun. Artinya valuasi saham Freeport Indonesia 1,58 kali lebih mahal.
Bahkan jika dibandingkan valuasi 41,64 persen saham Freeport Indonesia versi Freeport-McMoRan yang sebesar US$ 6,62 miliar atau sekitar Rp 86,9 triliun, maka nilai itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 51 persen nilai ekuitas Freeport-McMoran.
Bagaimana jika valuasi saham Freeport menggunakan metode replacement cost seperti keinginan pemerintah?
Metode replacement cost merupakan metode penggantian biaya yang nantinya valuasi harga saham hanya dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menemukan cadangan tersebut atau dengan kata lain hanya mengganti apa yang dikeluarkan untuk kegiatan operasional.
Menurut Yustinus, dengan metode tersebut pemerintah sejatinya memiliki kesanggupan untuk membeli saham divestasi Freeport Indonesia. Namun, cara tersebut dianggap tidak fair dan akan berpotensi menyeret Indonesia ke arbitrase internasional.
Untuk diketahui, pada 2016 silam, pemerintah menilai harga 10,64 persen saham divestasi yang ditawarkan oleh Freeport yang sebesar US$ 1,7 miliar atau setara Rp 22,6 triliun dengan kurs Rp 13.300 terlampau mahal. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono, harga tersebut ditetapkan Freeport berdasarkan valuasi aset hingga 2041. Sementara pemerintah berpatokan valuasi aset Freeport hingga 2021.