Bareksa.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan II 2017 tumbuh sebesar 5,01 persen (year on year), Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi pada Januari - Juni atau semester I 2017 mencapai 5,01 persen.
Namun, konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, hanya tumbuh 4,94 persen, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu yang bertumbuh 5,07 persen.
Grafik : Perbandingan Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (yoy)
Sumber : BPS, diolah Bareksa
Konsumsi rumah tangga masih menjadi sorotan para ekonom di mana komponen tersebut masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi mencapai 55 persen. Sebab komponen tersebut masih mempunyai tren yang cenderung menurun di setiap kuartalnya, meski secara keseluruhan perekonomian Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen.
Tabel : Kontribusi Komponen terhadap PDB
Sumber : BPS, diolah Bareksa
Selain konsumsi rumah tangga, indikator pengeluaran belanja pemerintah juga tak cukup baik. Hal ini yang juga diamati oleh para ekonom, di mana kontribusinya menurun 0,15 persen terhadap pertumbuhan PDB.
Mengutip DetikFinance, Rizal Ramli yang merupakan Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman menilai pemerintah telah salah jalan dalam mengambil keputusan soal fiskal, sehingga menyebabkan ekonomi Indonesia cenderung stagnan. Apalagi dengan kondisi konsumsi rumah tangga yang berada dalam tren penurunan.
Ini tergambar dari penjualan sepeda motor yang turun 5 persen, konsumsi listrik tumbuh 2 persen dari yang biasanya 9 persen dan penjualan semen dari 10 persen menjadi 3 persen.
Rizal menuturkan, pemerintah tak punya banyak ruang dalam alokasi belanja produktif, meskipun sudah memangkas subsidi energi. Pemerintah harus menyelesaikan prioritas utama dengan membayar pokok dan bunga utang sekitar Rp 512 triliun untuk periode 2017. Sementara dana infrastruktur hanya sebesar Rp 387 triliun.
"Tidak ada kreativitas untuk mengurangi beban utang dengan cara seperti debt-to-nature swap, loan swap," ujarnya.
Di sisi lain, kata Rizal, kalangan dunia usaha dibuat tidak nyaman dengan agresivitas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Sehingga tidak banyak kegiatan ekspansi oleh perusahaan di dalam negeri, maupun investasi baru.
"Di negara yang lebih canggih pengelolaan makroekonominya, mereka longgarkan fiskal, pajak dan moneter ketika ekonomi slowdown. Nanti kalau sudah membaik, baru diuber," kata Rizal.