Bareksa.com – Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasentiantono, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini masih bisa tumbuh 5,1 persen di tengah ketidakpastian. Dengan catatan, proyek-proyek infrastruktur harus berjalan.
Dari dalam negeri, ketidakpastian ekonomi sangat terasa dan diperparah dengan kegaduhan politik. Khususnya dengan adanya aksi demonstrasi besar di Jakarta yang ternyata membekas kepada para pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen.
Akibatnya, masyarakat wait and see untuk melakukan spending sehingga terlihat adanya penurunan daya beli. Hal ini pun merupakan dampak dari masalah yang terjadi di hulu (produsen/pabrikan) yang melakukan efisiensi.
“Jadi, saat ini ekonomi Indonesia terlalu gaduh dengan politik. Politik sudah mengganggu kinerja ekonomi lewat jalur kepercayaan sehingga meninmbulkan ketidakpastian. Ini yang harus dikelola dengan baik,” ujar Tony yang juga merupakan Komisaris Independen PT Bank Permata Tbk, di Jakarta, Rabu, 2 Agustus 2017.
Kegaduhan politik sendiri berakar dari keberadaan media sosial. Tony berpendapat, saat ini masyarakat terlalu mudah percaya atas informasi yang mereka dapatkan dari media sosial.
Pelemahan daya beli itu pun mendorong masyarakat cenderung lebih banyak menyimpan uangnya di bank. Padahal, kata Tony, hal ini tidak baik jika dilakukan secara massal, pasalnya permintaan kredit juga belum menunjukkan pertumbuhan.
Tabel: Realisasi Asumsi Dasar Makro Ekonomi Periode Januari – Mei 2017
Sumber: Kementerian Keuangan
Di sisi lain, masyarakat juga belum berani menempatkan dananya di instrumen investasi. Selain memikirkan soal risiko, instrumen investasi yang ada juga belum bergairah. Sementara itu, ketidakpastian ekonomi juga datang dari global baik terkait kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump maupun terkait perlambatan ekonomi Cina.
“Di dalam negeri terganggu politik dan media sosial, lalu di luar juga ada, maka ketidakpastian ekonomi masih akan berlangsung hingga akhir tahun ini. Tapi saya rasa pertumbuhan ekonomi masih akan mencapai 5,1 persen,” imbuh Tony.
Tony juga mengkritisi wacana redenominasi dan pemindahan ibu kota. Menurut dia, wacana itu justru menambah kegaduhan yang sudah ada.
Mengenai redenominasi, Tony menilai tidak masalah jika hal itu dilakukan 7-10 tahun mendatang. Tapi catatan Tony, jangan melakukan redenominasi hanya dengan melihat tingkat inflasi yang rendah, karena masih banyak faktor lain yang harus dilihat.
Begitu juga soal pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya. “Pilih mana, suntik Rp 500 triliun di satu titik, atau disebar ke beberapa titik. Kalau saya pilih suntik ke beberapa titik karena akan merata,” ungkapnya.
Di sisi lain, Tony juga mencermati hawa pemilihan umum (pemilu) 2019 yang akan terasa mulai 2018. Tony berpendapat, kemungkinan besar akan ada extra spending yang artinya akan mendorong sisi demand. Hal ini pun akan mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa mencapai 5,4 persen.
“Tapi, tensi politik pasti meningkat. Sehingga bakal gaduh lagi. Intinya, pemerintah jangan menambah-nambah perkara yang sudah ada dengan wacana redenominasi maupun pemindahan ibu kota,” jelasnya.