Bareksa.com – PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) atau TPS Food akhirnya menjawab semua tuduhan-tuduhan terkait anak usahanya yakni PT Indo Beras Unggul (PT IBU). Perseroan memastikan, pihaknya belum masuk ke status ‘kasus hukum’ dan apa yang terjadi pada PT IBU tidak mengubah proyeksi kinerja TPS Food tahun ini.
Finance Coordinator TPS Food Sjambiri Lioe menegaskan, estimasi penjualan perseroan hingga akhir tahun ini akan tumbuh 8 persen dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp 7,25 triliun. Perhitungan ini berdasarkan estimasi penjualan hingga semester I 2017 yang mencapai Rp3,37 triliun dikali dua ditambah estimasi kontrak biskuit Rp400 miliar.
Selain itu, perseroan juga akan mendapat tambahan pendapatan dari pertumbuhan mi kering, bihun, dan snack Taro 3D sebesar Rp 100 miliar. Meski begitu, estimasi tersebut hanya akan berkisar 95 persen dari target sepanjang tahun ini yang mencapai Rp 7,61 triliun.
“Tidak akan berubah (target penjualan),” ucap Sjambiri kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 25 Juli 2017.
Tabel: Estimasi dan Target Penjualan TPS Food Sepanjang Tahun 2017
Sumber: Mater presentasi perseroan
Dari estimasi penjualan hingga semester I 2017, penjualan perseroan mengalami penurunan 7 persen dari Rp 3,64 triliun menjadi Rp 3,37 triliun. Dari jumlah ini, penjualan beras turun 12 persen menjadi Rp 2,11 triliun ketimbang periode sama tahun lalu Rp 2,4 triliun. Sementara penjualan dari divisi food naik 6 persen dari Rp 1,19 triliun menjadi Rp 1,27 triliun.
“Jadi, bisnis TPS Food nggak cuma beras saja. Masih ada divisi food yang nanti masing-masing akan berkontribusi 50-50, apalagi gross margin divisi food sebesar 35 persen,” tambah Sjambiri.
Klarifikasi Tuduhan
Sambil memaparkan bagaimana tuduhan-tuduhan ke PT IBU tidak mempengaruhi estimasi penjualan TPS Food, perseroan juga kembali menegaskan beberapa klarifikasi atas tuduhan tersebut. Klarifikasi pertama terkait tuduhan PT IBU menggunakan beras bersubsidi.
Direktur TPS Food, Jo Tjong Seng menjelaskan, pihaknya sama sekali tidak menggunakan beras sejahtera (rastra) yang merupakan istilah terkini beras bersubsidi. Tjong Seng bilang, beras yang dihasilkan PT IBU berasal dari gabah yang dibeli melalui mekanisme pasar.
Klarifikasi kedua mengenai tuduhan PT IBU membeli beras medium (IR64) untuk dikemas dan dijual dengan harga premium. “Padahal, berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), deskripsi parameter beras medium atau premium berdasarkan paramater fisik terukur, bukan pada jenis atau varietas beras dan bukan pada kandungan gizi beras,” katanya.
Kategori beras menjadi premium pun memiliki tolak ukur lainnya. Terutama bisa dilihat dari kebutuhan beras, derajat sosoh (warna putih), hingga kadar air.
Klarifikasi lainnya mengenai tuduhan kadar karbohidrat yang tercantum 25 persen setelah diteliti ternyata 84 persen, serta kadar protein tercantum 14 persen setelah diteliti 7,73 persen. Tjong Seng menegaskan, 25 persen adalah angka kecukupan gizi dan bukan kandungan karbohidrat tercantum. Karena kandungan karbohidrat pada beras putih berkisar 74 persen sampai 81 persen, dan hasil analisa Tim Satgas yang 81,45 persen masih masuk dalam kisaran kandungan karbohidrat beras.
Catatan-catatan yang ada di beras produk PT IBU itu menjadi hal yang baru. Tjong Seng mengatakan, pihaknya menjadi pionir dalam menempatkan catatan-catatan itu. “Kami pun berharap yang lain mengikuti. Hal ini sebagai bagian untuk mengedukasi konsumen, karena beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat,” imbuh Tjong Seng.
Tuduhan lainnya yang diklarifikasi TPS Food adalah PT IBU membeli gabah dari petani Rp 4.900 dan dianggap tergolong tinggi sehingga dapat mematikan pelaku usaha. Tjong Seng menyatakan, harga itu merupakan harga acuan pembelian dan harga yang dibayar PT IBU sudah termasuk insentif bagi petani yang memenuhi parameter mutu.
Dan tuduhan terakhir mengenai harga jual beras merek Maknyuss Rp 13.000 dan Cap Ayam Jago Rp 20.000 per kilogram yang dianggap lebih tinggi dari ketetapan Permendag. “Harga konsumen ditentukan oleh berbagai faktor dari mata rantai niaga beras. PT IBU hanya melakukan bisnis berdasar prinsip B2B dan hanya dapat menentukan harga sampai keluar pabrik,” jelas Tjong Seng.
Secara keseluruhan, Tjong Seng menuturkan, klarifikasi dari TPS Food bukan sekadar bantah-bantahan. Tapi perseroan ingin adanya pemahaman dasar yang sama.