Berita / / Artikel

Apa Risiko Jika Pajak Batal Intip Rekening? Ini Penjelasan Sri Mulyani

• 18 Jul 2017

an image
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan mengenai keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, di Jakarta. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Sri Mulyani meminta agar DPR segera mengesahkan Perppu menjadi UU

Bareksa.com – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, membeberkan sejumlah alasan pemerintah meminta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan segera disetujui menjadi Undang-Undang (UU). “Sebab jika itu tertunda atau batal maka akan terdapat risiko yang datang,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.

Menurut Ani, biasa ia disapa, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 mendesak untuk dijadikan UU. Hal itu penting lantaran bukan sekadar memenuhi komitmen di dunia internasional melainkan juga realisasi penerimaan perpajakan beberapa tahun belakangan ini jauh di bawah target yang ditetapkan.  

Tentu kondisi itu sangat disayangkan mengingat penerimaan negara dari perpajakan memiliki peranan penting bagi pembangunan ekonomi di Tanah Air. Karena itu, pemerintah sangat menggenjot penerimaan negara. Apabila penerimaan pajak tidak maksimal, tentu pilihan utang bisa digunakan guna menutupi kebutuhan anggaran.

Pada 2016 lalu, penerimaan perpajakan direvisi hanya sebesar 86 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski direvisi, namun pemerintah juga hanya mampu merealisasikan sebesar 82 persen.

"Itu sudah termasuk amnesti pajak. Apabila amnesti pajak dikeluarkan maka penerimaan pajak hanya 75 persen," ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan kecilnya angka tersebut karena akses Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam melakukan pemeriksaaan masih terbilang minim. Atau masih belum ada sistem otomatis guna mendapatkan informasi keuangan dari lembaga keuangan terkait. Hal semacam ini yang perlu diperbaiki di masa mendatang.

Sebab itu, kata dia, menjadi penting hadirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 di mana Ditjen Pajak selaku otoritas pajak di Indonesia diberikan kewenangan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Nantinya para lembaga keuangan seperti perbankan, perbankan syariah, pasar modal dan asuransi dapat memberikan data secara otomatis.

"Ini jadi perhatian kami. Batas defisit 3 persen terhadap PDB dan kalau persentase pajak tidak terpenuhi dan kebutuhan belanja tidak bisa dihindari maka defisit tak terhindari dan timbulkan masalah kredibilitas," ungkap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.  

Atas dasar itu, Sri Mulyani berharap Komisi XI DPR RI bisa segera memberikan persetujuan untuk mengubah Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi UU. Apabila hal itu terjadi maka akan memudahkan penerepan aturan Automatic Exchange of Information (AEoI). Sebab, aturan tersebut dapat mendorong basis data perpajakan dari lembaga keuangan dan negara mitra.

Indonesia menjadi negara yang sepakat untuk menetapkan AEoI pada September 2018 bersama 50 negara lainnya. Sebelum menerapkan, pemerintah harus memiliki aturan paling lambat pada 30 Juni 2017. Implementasi AEoI telah disepakati oleh 100 negara dengan 50 negara akan menerapkan di September 2017, dan 50 negara lainnya pada September 2018.

"Kami mohon dengan penjelasan yang sudah di sampaikan, atas nama Presiden mohon kiranya DPR dapat menyetujui Perppu untuk menjadi UU," pungkas Sri Mulyani. (K03)

Tags: