Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan aturan mengenai surat berharga komersial (commercial paper/CP) dalam dua pekan mendatang. Aturan ini akan memberikan alternatif bagi korporasi untuk mendapatkan pendanaan. Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsah, menyatakan aturan pelaksanaan yang berbentuk Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) akan diterbitkan dua kali. Pertama, pada September 2017, BI akan menerbitkan aturan teknis untuk lembaga pendukung supaya infrastrukturnya siap.
"Selanjutnya, pada Desember 2017, BI akan mengeluarkan aturan teknis untuk penerbit," kata dia di Jakarta, Selasa, 4 Juli 2017.
Sebelum aturan ini dikeluarkan, menurut Nanang, permintaan untuk penerbitan commercial paper cukup banyak. Sebab banyak korporasi yang mencari alternatif pembiayaan modal kerja.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menambahkan, sebelum 1998, penerbitan CP sudah ada di Indonesia. Namun saat itu aksi korporasi tersebut kurang aman karena tidak ada rating dan juga lembaga yang mencatat penerbitannya. "Dulu belum ada lembaga Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) seperti saat ini, jadi pencatatannya kami tidak tahu," ujarnya.
Nantinya setelah BI menerbitkan aturan mengenai CP tersebut, maka penerbitan CB oleh korporasi harus minta izin ke BI. Sedangkan pencatatannya harus melalui KSEI sehingga bisa dipantau. "Sehingga pembelinya juga aman, dan tingkat kepercayaan juga bisa naik," ungkapnya.
Soal permintaan penerbitan CP, menurut Mirza akan cukup banyak bagi korporasi yang membutuhkan pendanaan jangka pendek. Tenor penerbitan CP berkisar 3 - 6 bulan. Dia juga yakin penyerapan CP akan besar. Hal ini terutama CP berasal dari investor seperti bank, asuransi dan dana pensiun yang memiliki kelebihan dana. “Apalagi, baru-baru ini, BI memberlakukan aturan GWM averaging yang memungkinkan bank untuk mengelola likuiditas secara fleksibel,” katanya.
Mirza menjelaskan BI mulai memberlakukan giro wajib minimum (GWM) rata-rata (averaging) pada 1 Juli 2017 lalu. Dengan adanya pemberlakuan kebijakan moneter tersebut diharapkan likuiditas perbankan tidak banyak yang ditempatkan di BI. Penempatan dana bank di BI yang berasal dari GWM mencapai Rp 250 triliun. Namun di luar itu, BI juga mendapatkan likuiditas dari bank sebesar Rp 400 triliun.
Adanya penerapan GWM averaging bisa memberikan keleluasaan bagi bank untuk memanajemen likuiditas. Keleluasaan tersebut bisa membuat bank menempatkan dana yang tidak dipergunakan untuk GWM bisa masuk ke sistem pasar keuangan."Misalnya ditempatkan di SPN (surat perbendaharaan negara) atau Repo," ungkap dia.
Namun penerapan GWM averaging tidak dilaksanakan secara sekaligus, namun pada tahap awal. Mulai 1 Juli 2017, BI memberlakukan GWM averaging secara sebagian, yakni 1,5 persen dan 5 persen untuk GWM primer dengan skema tetap.
"Pemberlakuan GWM averaging ini bisa dilakukan secara penuh namun melihat kesiapan perbankan dalam memanajemen likuiditasnya terlebih dahulu,"kata dia.(K09)